Cara 7 Tersangka Kongkalikong Impor Minyak Pakai Broker dan Oplos BBM

Kerugian impor minyak dari kompensasi Rp 126 triliun dan subsidi Rp 21 triliun.

Bambang Nuroyono
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2025) malam WIB.
Rep: Bambang Noroyono Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam penyidikan korupsi tata kelola dan ekspor impor minyak mentah di anak usaha PT Pertamina periode 2018-2023. Salah-satu yang diumumkan sebagai tersangka adalah Riva Siahaan (RS) selaku direktur utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga.

Peningkatan status hukum oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana (Jampidsus) tersebut turut menjerat Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International dan Yoki Firnandi (YF) sebagai dirut PT Pertamina Shipping.

Kemudian, Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina International Agus Purwono (AP) juga ikut dijerat sebagai tersangka. Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar mengatakan, tiga tersangka lainnya berasal dari pihak swasta.

Mereka adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku benefit official atau pemilik manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus komisaris PT Jenggala Maritim. Terakhir adalah Gading Ramadhan Joedo (GRJ) sebagai komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus dirut PT Orbit Terminal Merak

"Berdasarkan alat-alat bukti yang cukup tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menetapkan ketujuh orang tersebut sebagai tersangka," kata Qohar di Gedung Kartika Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (24/2/2025) malam WIB.

Kecukupan alat bukti tersebut, kata Qohar, berupa hasil pemeriksaan terhadap 96 saksi dan dua ahli yang sudah diperiksa oleh tim penyidik Kejagung sejak Oktober 2024. Penyidikan juga mengeklaim, memiliki barang bukti dari hasil sitaan sebanyak 969 dokumen, serta 45 surat-surat elektronik.

Setelah diumumkan tersangka, ketujuh orang tersebut dijebloskan ke sel tahanan. Penahanan sepanjang 20 hari terhitung 24 Februari 2025 dilakukan untuk mempercepat berkas perkara.

Qohar menerangkan, kasus yang menjerat ketujuh tersangka itu terkait korupsi dalam tata niaga, dan ekspor impor minyak mentah oleh anak usaha PT Pertamina. Kasus tersebut juga terkait dengan manipulasi kualitas bahan bakar minyak (BBM) dalam pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

Dari penghitungan sementara, kata Abdul Qohar, nilai kerugian keuangan negara pada kasus tersebut mencapai Rp 193,7 triliun sepanjang 2018-2023. Menurut Qohar, selama periode lima tahun itu, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari hasil eksplorasi di Indonesia.

Dia menyebut, PT Pertamina diwajibkan mencari pasokan minyak bumi hasil dari produksi para kontraktor eksplorasi di dalam negeri. "Hal tersebut wajib dilakukan sebelum PT Pertamina merencanakan untuk melakuka impor minyak bumi untuk kebutuhan di dalam negeri," kata Qohar.

Keharusan tersebut, sambung dia, Qohar berdasarkan Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Enerji dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang Priorotas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan di Dalam Negeri. Tetapi, kata Qohar, dari hasil penyidikan terungkap, tiga tersangka dari PT Pertamina, yakni RS, SDS, dan AP melakukan konsolidasi.

Mereka kompak melakukan pengkondisian melalui rapat optimalisasi hilir (ROH) yang dijadikan dasar dalam menurunkan produksi perkilangan minyak bumi di dalam negeri. "Sehingga produksi kilang minyak bumi di dalam negeri tidak terserap seluruhnya," ujar Qohar.

Pilih impor

Baca Juga


Atas pengkondisian oleh tersangka RS, SDS, dan AP tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara mengimpor. "Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama) sengaja ditolak," ujar Qohar.

Penolakan tersebut dikatakan Qohar atas dasar produksi minyak mentah oleh KKKS yang tak memenuhi nilai ekonomis. "Padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range HPS (harga perkiraan sendiri)," ujarnya.

 

Atas pengkondisian oleh tersangka RS, SDS, dan AP tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara mengimpor. "Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama) sengaja ditolak," ujar Qohar.

Penolakan tersebut, kata Qohar, atas dasar produksi minyak mentah oleh KKKS yang tak memenuhi nilai ekonomis. "Padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range HPS (harga perkiraan sendiri)," ucap Qohar.

Dan penolakan produksi minyak mentah KKKS tersebut, karena alasan spesifikasi yang dinyatakan tak sesuai dengan kualitas standar. Padahal, menurut Qohar, faktanya minyak mentah bagian negara yang diproduksi oleh KKKS masih sesuai dengan spesifikasi dan standar kilang dan dapat diolah atau dihilangkan kadar merkuri serta sulfurnya.

"Pada saat produksi minyak mentah oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor (dijual ke luar negeri)," kata Qohar.

Dia melanjutkan, untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri PT Kilang Pertamina International melakukan impor minyak mentah. Dan perseroan juga melakukan impor produk kilang. Menurut Qohar, dalam impor tersebut, apabila dibandingkan dengan harga minyak bumi hasil eksplorasi di dalam negeri, terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi.

Bisa dikatakan, kata dia, disparitas harga senjang dan signifikan dalam setiap komponen impor dengan produksi kilang di dalam negeri. Kemudian, dalam pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga ditemukan fakta tindak pidana permufakatan jahat dan tindak pidana korupsi.

Hal itu dilakukan oleh tersangka peyelenggara negara, RS, SDS, dan AP, serta YF selaku penyelenggara impor. Keempatnya bersama-sama dengan tersangka MKAR, DW, dan GRJ selaku DMUT atau broker. Ketujuh tersangka tersebut menyepakati harga pengadaan minyak mentah dan produk kilang impor sebelum tender dilaksanakan.

"Dengan kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum, dan merugikan keuangan negara," kata Qohar.
Permufakatan jahat para tersangka tersebut, kata Qohar, juga diwujudkan dengan tindakan pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang.

Sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara mengkondisikan pemenangan DMUT atau broker yang telah ditentukan. Mereka menyetujui pembelian dengan harga tinggi yang tidak memenuhi persyaratan.

"Yaitu dilakukan dengan cara, tersangka RS, tersangka SDS dan tersangka AP memenangkan DMUT atau broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum," kata Qohar.

Hasil penyidikan di Kejagung, kata Qohar, juga mengungkapkan tersangka DW dan GRJ yang melakukan komunikasi langsung dengan tersangka AP. Komunikasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan harga tinggi dalam impor pada saat syarat-syarat belum terpenuhi.

Namun, mereka mendapat persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah, dan persetujuan dari tersangka RS untuk impor produk kilang. Qohar mengungkapkan, dalam impor produk kilang yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembayaran untuk jenis RON 92.

Tetapi, jenis produk kilang yang didatangkan dari pengadaan impor produk kilang tersebut adalah RON 90. Dari RON 90 tersebut, Qohar menambahkan, PT Pertamina Patra Niaga melakukan kejahatan lain dengan menjadikan produk kilang tersebut menjadi RON 92 alias dioplos.

"RON 90 yang lebih rendah kemudian di-blending di storage atau depo, untuk dijadikan RON 92 yang hal tersebut tidak diperbolehkan," kata Qohar.

Dalam pengadaan impor minyak mentah, dan impor produk kilang tersebut, sambung Qohar, ditemukan fakta-fakta terjadinya penggelembungan biaya (markup) dalam kontrak shipping atau pengapalan. "Mark up tersebut dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping," ujar Qohar.

 

Sehingga, menurut Qohar, negara mengeluarkan fee yang lebih besar 13 sampai 15 persen. Dan pembengkakan biaya pengiriman minyak mentah dan produk kilang impor tersebut memperkaya tersangka MKAR.

Qohar menyebut, pada saat kebutuhan minyak mentah di dalam negeri yang diperoleh dari impor tersebut, membuat komponen harga dasar dalam penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM yang dijual kepada masyarakat menjadi sangat tinggi. Dan harga itu berdampak pada pemberian kompensasi dan subsidi negara untuk pembelian BBM melalui APBN.

"Akibatnya, perbuatan yang dilakukan para tersangka tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar (Rp) 193,7 triliun," ujar Qohar.

Nilai kerugian keuangan negara tersebut, kata Qohar, terdiri dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sebesar Rp 35 triliun. Kerugian impor minyak mentah melalui DMUT atau broker sebesar Rp 2,7 triliun. Kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp 9 triliun. "Kerugian pemberian kompensasi sebesar Rp 126 triliun. Dan kerugian pemberian subsidi sekitar Rp 21 triliun," kata Qohar menegaskan.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler