Masjid Dibangun dari Sedekah Hasil Korupsi, Bagaimana Solusinya?
Jika ada masjid ternyata dibangun dari harta haram, jamaah harus berbuat apa?
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apa itu korupsi? Syed Hussein Alatas dalam buku Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi menyebutkan, esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.
Jadi, koruptor bukanlah pencuri biasa. Sebab, yang dilakukannya bukan hanya mencuri barang atau materiel berharga, tetapi juga mencederai kepercayaan (trust) orang lain. Dalam kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara, misalnya, ia dapat dianggap telah mengkhianati sumpah jabatan yang pernah diucapkannya dahulu. Pun dirinya sudah menodai trust yang dipercayakan publik kepadanya.
Definisi di atas juga mengandaikan bahwa korupsi memerlukan kelihaian. Minimal, seorang koruptor lihai menjaga citra positif dirinya di tengah lingkungan kantor atau masyarakat umum. Dengan begitu, ia menipu atasan tempatnya bekerja atau publik yang mengiranya sebagai "orang baik."
Bukan tidak mungkin seorang koruptor yang Muslim memilih bersedekah sebagai motif untuk menjaga citra dirinya. Misal ketika ia menyumbang uang haram untuk pembangunan sebuah masjid dan pada akhirnya kasus korupsinya terkuak.
Bila begitu, apakah yang mesti dilakukan pihak takmir atau jamaah yang sebelumnya tidak mengetahui asal muasal harta sedekah itu?
Dalam sebuah konten YouTube, Ustaz Khalid Basalamah menuturkan pengalamannya. Pernah suatu ketika ia shalat di sebuah masjid, yang belakangan diketahuinya bahwa tempat shalat itu dibangun dari harta haram.
Ustaz Khalid pun menyarankan agar jamaah segera menebus masjid itu. Jadi, tidak perlu merusak atau merobohkan bangunan yang telah berdiri dan berfungsi.
"Tebus masjid itu. Kira-kira dulu waktu bangun dari uang haram berapa?" kata Ustaz Khalid, dikutip Republika, Selasa (25/2/2025).
Sebagai gambaran saja, katakanlah bahwa masjid itu dibangun dengan uang sedekah hasil korupsi sebesar Rp 200 juta. Pihak takmir atau jamaah setempat lantas dapat mengupayakan patungan agar bisa mengumpulkan dana sebesar itu.
Kemudian, bila uang berhasil terkumpul, mereka dapat menebus uang haram yang sudah menjadi masjid itu. Dalam arti, uang Rp 200 juta hasil urunan ini dapat diberikan kepada negara---bila koruptor yang telah "menyedekahkan" harta haram itu adalah seorang pejabat negara. Bisa pula, uang itu diberikan kepada pihak-pihak yang telah dirugikan oleh si koruptor.
Pertanyaan kemudian, apakah sah shalat di sebuah masjid yang dibangun dari harta haram? Dilansir dari laman resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Islam tidak membenarkan bahwa hasil korupsi dipakai untuk hal-hal yang bersifat ibadah, semisal membangun masjid.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik” (HR Muslim).
Koruptor mesti segera bertobat. Ia juga mesti mengganti semua kerugian yang timbul akibat perbuatan buruknya itu.
"Hasil korupsi untuk pembangunan masjid adalah kegiatan haram, pelakunya berdosa dan sama sekali tidak mendapatkan pahala sekalipun digunakan untuk membangun masjid. Apabila masjid itu sudah terbangun yang tentunya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat, maka masjid tersebut tidak perlu dibongkar. Shalat di masjid itu sah," tulis "Tim MUI Menjawab", dikutip dari laman MUI.