IHSG Era Presiden Prabowo Babak Belur, BEI Ungkap Penyebabnya
Hingga 27 Februari 2025, sudah ada net sell saham hingga hampir Rp 19 triliun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) semakin nyungsep menyentuh ke level 6.300-an pada perdagangan Jumat (28/2/2025). Bursa Efek Indonesia (BEI) mengungkapkan sejumlah faktor yang menyebabkan ambruknya IHSG belakangan ini.
Padahal, Presiden Prabowo Subianto baru saja meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) yang menghimpun tujuh BUMN besar. Sayangnya, sentimen positif tersebut tidak berdampak bagi perdagangan bursa.
"Kita lihat dari 21 Februari-27 Februari penurunannya hampir lima persen, yakni 4,7 persen week on week (WoW). IHSG sangat banyak penyebab dari perubahannya, dan itu bukan hanya dari satu pihak," kata Direktur Utama BEI Iman Rachman dalam konferensi pers di Gedung BEI, Jakarta Selatan, Jumat (28/2/2025).
Iman mengatakan, selalu ada tiga hal yang dapat memengaruhi pergerakan IHSG, yakni kondisi global, domestik, serta korporasi. Dia menjelaskan, di tingkat global, sentimen perang dagang AS dan mitra-mitranya sangat memberi pengaruh.
"Apa yang terjadi di global, bahwa perang tarif AS dan mitra-mitranya selalu ada, trade war 2.0 ini enggak gampang," ujarnya.
Kebijakan perang dagang yang dilakukan oleh AS kepada China, Kanada, dan Meksiko, tak ayal membuat dana asing keluar dari Indonesia dan lantas masuk ke negeri Paman Sam. Sehingga kondisi itu membuat pasar modal di Indonesia lesu.
Sentimen global lainnya yakni kebijakan The Federal Reserve soal suku bunga (FFR). Hanya saja, kata Iman, terjadi longer for higher di pasar, sehingga kemungkinan FFR menurunkan suku bunga paling banyak hanya satu kali pada tahun ini. Kebijakan suku bunga tersebut sangat sensitif terhadap ekuitas.
Selain itu, Iman juga menerangkan, kebijakan dari Bank of Korea juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi pasar. Bank of Korea baru saja memangkas suku bunganya dari 3 persen menjadi 2,75 persen. "Jadi, global ini enggak bisa kita menafikkan, jadi pasti ada dampak dari global," kata Iman menegaskan.
Dia melanjutkan, selain faktor global, masalah domestik juga memberikan pengaruh yang berarti bagi kondisi pasar modal. Terutama, mengenai data penjualan ritel Indonesia yang terus mengalami penurunan.
Menurut Imam, saat ini, kontribusi investor asing hanya sekitar 40 persen. Padahal, beberapa tahun lalu mencapai sekitar 60 persen. Sedangkan selebihnya berasal dari investor domestik. "Sekarang ini begitu (data penjualan) ritel keluar, domestik makin terpuruk," ujarnya.
Di samping itu, faktor kondisi korporasi juga menjadi salah satu yang paling utama dalam memengaruhi kinerja di pasar modal. Menurut Iman, sejumlah emiten mencatatkan laporan keuangan yang kurang optimal.
"Koreksi-koreksi rilis laporan keuangan dari emiten. Emiten kan Desember (2024) sudah mulai jadi, walaupun beberapa emiten labanya naik, tapi mereka di bawah consensus. Jadi walaupun ada peningkatan (laba), ada penurunan dari sisi konsensus," tutur Iman.
Terlebih, kata Iman, juga terjadi aksi jual (net sell) yang tinggi dalam bulan-bulan pertama pada 2025. Dia mencatat, hingga 27 Februari 2025, sudah ada net sell saham hingga hampir Rp 19 triliun (year to date/ytd).