Merunut Perjalanan Sritex, Raja Tekstil yang Kini Tumbang Terkubur Utang
Setelah diputus pailit pada Oktober 2024, Sritex kini dinyatakan bangkrut.
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Perjalanan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex resmi berakhir pada 28 Februari 2025. Setelah diputus pailit pada Oktober 2024, Sritex harus kembali menelan pil pahit ketika dinyatakan insolvent atau bangkrut oleh hakim pengawas Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang yang menangani perkara kepailitannya. Keinginan going concern atau keberlangsungan usaha kandas dan lebih dari 10 ribu pekerja Sritex harus mengalami PHK.
Dikutip dari situs web resminya, PT Sritex didirikan oleh HM Lukminto pada 1966. Awalnya Sritex adalah perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Pada 1968, Sritex membuka pabrik cetak pertamanya yang memproduksi kain putih dan berwarna di Solo. Sepuluh tahun kemudian, Sritex terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan.
Pada 1982, Sritex membangun pabrik tenun pertamanya. Kemudian pada 1992, perusahaan tersebut memperluas pabrik dengan empat lini produksi dalam satu atap, yaitu pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana. Tahun 1994 Sritex menjadi produsen seragam militer untuk aliansi pertahanan NATO.
Sritex berhasil selamat dari krisis moneter tahun 1998. Perusahaan tersebut justru berhasil melipatgandakan pertumbuhannya sampai delapan kali lipat dibanding waktu pertama kali terintegrasi pada 1992.
Pada 2013, Sritex resmi melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode emiten SRIL. Pada 2014, putra sulung HM Lukminto yang memimpin Sritex, Iwan S Lukminto, memperoleh penghargaan Businessman of the Year dari Majalah Forbes Indonesia. Setahun kemudian, PT Sritex dianugerahi Top Performing Listed Companies in Textile and Garment Sector oleh Majalah Investor. Sritex telah banyak menerima penghargaan serupa.
Tahun 2016, Sritex berhasil menerbitkan obligasi global senilai 350 juta dolar AS yang jatuh tempo pada 2021. Pada 2017, Sritex kembali menerbitkan obligasi global senilai 150 juta dolar AS yang jatuh tempo tahun 2024. Tahun 2021 dianggap sebagai awal mula kejatuhan Sritex saat mereka tak mampu membayar utang sindikasi sebesar 350 juta dolar AS. Kala itu Sritex menyampaikan bahwa utang tersebut akan diajukan untuk direstrukturisasi.
Sritex mencatat rugi bersih 14,8 juta dolar AS atau setara Rp 235 miliar pada kuartal I 2024 atau periode Januari-Maret. Kerugian itu lebih tinggi 61 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 9,2 juta dolar AS. Per 31 Maret 2024, saldo laba Sritex defisit 1,18 miliar dolar AS atau hampir Rp 2 triliun.
Menurut Bursa Efek Indonesia, per 31 Maret 2024, Sritex memiliki 11.249 karyawan. Padahal pada akhir Desember 2023, mereka masih mempunyai 14.138 karyawan. Artinya dalam kurun tiga bulan, perusahaan tersebut memecat lebih dari 3.000 pegawainya.
Diputus pailit
Pada April 2021, Sritex menghadapi gugatan pemenuhan pembayaran utang dari CV Prima Karya. CV Prima Karya adalah kontraktor pabrik Sritex dan tiga anak perusahaannya, yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya. Nilai utang Sritex dalam perkara PKPU No.12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Smg itu mencapai Rp 5,5 miliar.
Pada Januari 2022, rencana perdamaian yang diajukan Sritex diterima kreditur dan disahkan dalam putusan homologasi. Dua tahun berselang, putusan homologasi dimohonkan pembatalannya karena Sritex dinilai tak mampu memenuhi isi perjanjian.
Sritex dan tiga anak perusahaannya juga menghadapi gugatan lain dari PT Indo Bharat Rayon. Sama seperti kasus CV Prima Karya, Sritex tak mampu menunaikan perjanjian homologasi. Dalam perkara ini, pada 21 Oktober 2024, PN Niaga Semarang memutus Sritex pailit. Hal tersebut termaktub dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
"Menyatakan PT Sri Rejeki Isman, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya," demikian petitum yang dipublikasikan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Semarang.
Dalam putusan tersebut, PT Sri Rejeki Isman, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya dinyatakan telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada pemohon berdasarkan Putusan Homologasi (Pengesahan Rencana Perdamaian) tanggal 25 Januari 2022. "Menyatakan batal Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No.12/ Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg Tanggal 25 Januari 2022 mengenai Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi)," demikian bunyi petitum lain dari perkara antara PT Sritex dan PT Indo Bharat Rayon.
Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2024, Sritex memiliki sisa utang Rp101,31 miliar kepada PT Indo Bharat Rayon. Dipailitkannya Sritex oleh PN Niaga Semarang segera menjadi perhatian nasional. Hal itu mengingat Sritex memiliki lebih dari 10 ribu pekerja.
Tak lama setelah dipailitkan PN Niaga Semarang, Sritex mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA menolak permohonan Sritex. Sidang putusan permohonan kasasi Sritex dengan nomor perkara 1345K/PDT.SUS-PAILIT/2024 dilaksanakan pada 18 Desember 2024. "Amar putusan: tolak," demikian bunyi putusan permohonan kasasi Sritex yang dikutip Republika dari laman resmi MA.
Harapkan going concern
Pasca diputus pailit, selain mengajukan kasasi ke MA, Direktur Utama Sritex Iwan Kurniawan Lukminto turut berupaya meminta hakim pengawas dalam perkara kepailitan perusahaannya agar dapat melakukan going concern atau keberlangsungan usaha tanpa melalui skema voting kreditur. "Sebenarnya skema untuk mendapatkan going concern (keberlangsungan usaha) kan tidak hanya dalam sisi voting. Hakim pengawas mempunyai hak untuk memutuskan hal tersebut," kata Iwan kepada awak media ketika hadir perdana dalam rapat kreditur Sritex di PN Niaga Semarang pada 21 Januari 2025.
Iwan mengaku turut menyampaikan hal tersebut dalam rapat kreditur yang turut dihadiri tim kurator. "Kami sudah sampaikan kepada hakim pengawas bahwa going concern ini sangat diperlukan bagi kita, dan semoga hakim pengawas tidak melalui skema voting, dari beliau sendiri nantinya memutuskan status going concern tersebut," ucapnya.
Namun pandangan Iwan tak selaras dengan Tim Kurator Sritex yang dibemtuk pascaputusan pailit. Menurut mereka, kerugian yang dialami Sritex berpotensi semakin besar jika going concern dilakukan. Tim Kurator mengatakan, beban produksi Sritex jauh melampaui pendapatan yang bisa diperolehnya.
Pada 31 Januari 2025, Tim Kurator Sritex menerbitkan Daftar Piutang Tetap (DPT). Dalam DPT, terdapat 1.654 kreditur terverifikasi yang menagihkan utangnya kepada Sirtex. Total nilainya mencapai Rp29,88 triliun.
Diputus bangkrut
Sritex akhirnya dinyatakan insolvent atau bangkrut oleh hakim pengawas dalam rapat kreditur yang digelar di PN Niaga Semarang, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Dengan putusan tersebut, Tim Kurator Sritex selanjutnya bakal melakukan pemberesan harta pailit.
Dalam rapat kreditur yang digelar Ruang Kusumah Atmadja PN Semarang, anggota Tim Kurator Sritex memaparkan cash flow dan perkiraan nilai aset milik perusahaan tekstil terbesar di Indonesia tersebut. Dalam pemaparannya, terungkap bahwa beban pengeluaran Sritex lebih besar dibandingkan pemasukannya. "Total pengeluaran gaji beserta kewajiban perusahaan lainnya untuk karyawan dalam satu bulan adalah sejumlah kurang lebih Rp35.031.851.762," kata salah satu anggota Tim Kurator Sritex, Nurma Candra Yani Sadikin, dalam pemaparannya.
Dia menambahkan bahwa Sritex juga memiliki beban tagihan listrik per Februari 2025 mencapai Rp 9,7 miliar. "Bahwa selain biaya pengeluaran gaji karyawan, terdapat biaya-biaya lain yang belum terhitung, di antaranya adalah kebutuhan produksi dengan batu bara, biaya bahan baku, dan biaya-biaya lainnya," kata Nurma.
Nurma mengungkapkan, saat ini Sritex hanya menerima pendapatan dari Jasa Makloon Pre-Treatment (RFP) dan Jasa Makloon Garment. "Sehingga pemasukan yang didapat perusahaan sangat terbatas, berkisar di angka Rp20 miliar," ujarnya.
Sementara salah satu anak perusahaan Sritex, yakni PT Primayudha Mandirijaya hanya menerima keuntungan satu miliar rupiah. Sedangkan dua anak perusahaan Sritex lainnya, yakni PT Bitratex Industri dan PT Sinar Pantja Djaja, sudah tidak beroperasi. "Bahwa dengan keadaan sebagaimana dijelaskan di atas, saat ini tidak dimungkinkan untuk melanjutkan usaha debitur dengan alasan modal kerja yang terbatas dan beban biaya terlalu tinggi dibandingkan pendapatan yang diterima," kata Nurma.
Direktur Utama Sritex Iwan Kurniawan Lukminto turut hadir dalam rapat kreditur yang digelar di PN Niaga Semarang. Dia pun mengamini pemaparan yang disampaikan Tim Kurator Sritex. "Dengan adanya keterbatasan ruang gerak dan juga keterbatasan modal kerja, maka dari itu proposal dari GC (going concern/keberlangsungan usaha) yang kita diskusikan kemarin tidak dapat mencukupi untuk pembayaran kepada kreditur," ucapnya.
Merespons pemaparan tim kurator dan pengakuan langsung dari bos Sritex, Hakim Pengawas, Haruno, memutuskan menutup opsi going concern atau keberlangsungan usaha bagi Sritex selaku debitur pailit. "Dengan demikian, maka untuk permohonan para kreditur konkuren, kami hakim pengawas, dengan menilai hasil dari yang disampaikan tim kurator dan debitur, dengan ini going concern tidak mungkin akan dijalankan," kata Haruno.
"Dengan demikian pula rangkaian ini akan kami akhiri dengan pernyataan, insolvent kami tetapkan hari ini, Jumat tanggal 28 Februari 2025," tambah Haruno.