Wajah Ganda AI di Era Kapitalisme Digital

Merajalelanya deep fake merupakan residu utama teknologi AI.

Universitas BSI
Ilustrasi artificial intelligence (AI).
Red: Erdy Nasrul

Oleh : Makroen Sanjaya*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia di zaman ini hidupnya tergantung, sekaligus menyerupai robot, dalam pengertian ganda sekaligus. Robot dalam pengertian pertama bermakna sebagai “alat yang menyerupai orang-orangan yang dapat bergerak (berbuat seperti manusia) yang dikendalikan oleh mesin.”

Pengertian kedua: “orang yang menurut saja perintah orang lain,” (KBBI., Depdiknas: 2018, 1179), sebagai metafora orang yang hidupnya tidak independen, alias tergantung pada piranti mekanik. Dalam konteks ini, mekanik yang dimaksud di sini adalah teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Berdasarkan pada pengertian pertama, sejak dua-tiga dekade ini, robot yang mampu menggantikan tugas manusia, sudah muncul di mana-mana. Pada awal dekade 2000an misalnya, di Panasonic Center di Kota Osaka, Jepang sudah diperkenalkan teknologi layar sentuh (touch screen) pada “meja cerdas” yang bentuknya seperti aplikasi berbagai keperluan layaknya pada era ini.

“Meja Cerdas” mampu melayani berbagai keperluan, mulai dari urusan pembelian tiket, pengurusan dokumen kependudukan, hingga piranti sekuriti elektronis yang mampu mendeteksi tubuh manusia. Semua urusan demografik manusia, dapat diselesaikan oleh robot berbentuk meja, tanpa harus pergi ke mana-mana.

Di daratan Eropa, dan mungkin juga Amerika Serikat, pada kurun yang sama, sudah tidak ditemukan lagi keberadaan manusia pada area parkir. Tugas manusia di area parkir, sudah disubstitusi oleh robot. Tahun 1987 industri film Hollywood merilis film “Robocop” yang merupakan purwarupa polisi robotik, yang digambarkan secara imajiner sebagai polisi super kuat, tegas dan tidak pandang bulu sebagai penegak hukum dan ketertiban masyarakat.

“Robocop” menjadi antitesis dari polisi manusia. Di belahan dunia sana, yaitu daratan Eropa, Amerika Serikat, hingga Tiongkok, mobil taksi sudah dikemudikan secara otomatis (auto-drive) oleh robot AI. Di Indonesia dalam kurun 10an tahun terakhir, baru muncul fenomena robot yang menggantikan petugas parkir, petugas gerbang tol, bahkan tugas teller bank yang disubstitusi robot ATM, secara massal. Ribuan orang pelan tapi pasti, kehilangan pekerjaannya, atau sekurangnya jumlah pekerjanya menyusut.

 

Adapun makna robot pada pengertian kedua, di era sekarang, kebanyakan orang, khususnya masyarakat urban, hidupnya sangat tergantung pada piranti mekanik. Manusia hari ini, atas berbagai alasan---mulai dari soal gaya hidup, mobilitas, urusan ekonomi, aktivitas politik, pekerjaan, pendidikan, bahkan tentang belajar agama sekalipun, tidak lagi bisa dipisahkan dengan piranti komunikasi seperti gadget berupa telefon cerdas (smat phone) di tangannya.

Orang di seluruh dunia, dalam praktik kehidupan sehari-hari, membentuk, atau terbentuk melalui, atau oleh apa yang disebut sebagai budaya digital (digital culture). Budaya digital dalam terminologi Richard Gere (2008:12) ditekankan pada sejauh mana kehadiran teknologi digital di dunia kehidupan manusia, yang menunjukkan adanya budaya digital.

Richard Gere menyatakan bahwa “digitalisasi bisa dianggap sebagai terjadinya penanda budaya, karena mencakup artefak dan benda sistem penandaan dan komunikasi yang paling jelas membatasi cara hidup kontemprorer kita dari orang lain.”

Alat komunikasi telefon, telah meluas fungsinya; dari sekedar sebagai alat komunikasi, bagi sebagian orang, merupakan alat “mencari nafkah” utama dan bersifat ideologis sekaligus.

 

Contohnya: para pelaku bisnis online, afiliator di TikTok, hingga menjadi buzzer politik yang bergaji besar. Khalayak atau audiens yang menjadi konsumen media, cenderung “menuruti” semua pesan yang didistribusikan produsen konten. Semua aspek kehidupan masyarakat, telah diliputi, dan tergantung teknologi digital, yang difasilitasi oleh sistem komunikasi yang dimediasi komputer (computer mediated communication /CMC). CMC secara esensial merujuk kepada segala jenis komunikasi manusia yang dicapai melalui, atau dengan bantuan, teknologi komputer (Thurlow, dkk., 2004: 15).

Budaya digital ini kemudian kian bersifat semesta, tatkala masyarakat manusia, memanfaatkan internet secara eksponensial, untuk seluruh aspek kehidupan, yang disebut sebagai Internet of Things (IoT) atau serba internet. IoT dimaknai sebagai “segala sesuatu di sekitar kita yang mencakup mesin, bangunan, perangkat, hewan, manusia, dan lain-lain. Saat ini, layanan kesehatan pintar, rumah pintar, lalu lintas cerdas, dan perangkat rumah tangga pintar menggunakan teknologi ini untuk dunia digital yang lebih baik” (Panda & Tripathy: 2018, 41).

 

Dalam hal ini, IoT dan perangkat mesin mekanik serba pintar yang diusung oleh teknologi komputasi yang membantu manusia dalam aktivitas komunikatifnya, disebut sebagai kecerdasan buatan (artificial intellegence/ AI).

Menurut Panda & Tripathy, IoT merupakan cikal-bakal AI. Karena IoT menghasilkan data besar, di mana data lalu lintas kota misalnya, dapat digunakan untuk memprediksi kecelakaan dan kejahatan, ini membantu dalam membangun rumah pintar dengan peralatan rumah tangga yang terhubung secara digital dan banyak lagi.

“Ekstraksi informasi dari banyaknya data yang ada dikumpulkan dari skenario IoT semacam itu, merupakan tantangan nyata untuk memastikan bahwa IoT memenuhi kebutuhan yang kita harapkan. Hal ini juga dipertimbangkan untuk menangani data dalam jumlah besar, yang apabila menggunakan metode tradisional, memerlukan proses yang memakan waktu lama. Karena itu, kita perlu menggunakan metode AI yang dimasukkan ke dalam data IoT untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi (pp.45-46).

 

AI sebagai salah satu produk derivasi dari IoT sebagaimana ditekankan oleh Panda & Tripathy (2018: 45-46), maka tak bisa dimungkiri bahwa teknologi AI membawa serta dua karakter yang melekat pada Internet, yaitu sisi baik atau terang (bright side) di satu pihak, dan di pihak lainnya adalah sisi buruk atau gelap (dark side).

Kedua karakter itu secara intrinsik tertanam (embedded), ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Dalam hal ini, utilisasi AI untuk kehidupan manusia digantungkan kepada perspektif dan kepentingan penggunanya. Karena dalam praktiknya penggunaan AI di pelbagai sendi kehidupan manusia, kendati pun sudah tersedia regulasi dan kode etik (code of conduct) yang bersifat universal, maka akan selalu terjadi kondisi dialektis yang berlangsung sepanjang sejarah manusia.

Kita sekarang hidup di era kapitalisme digital dan komunikatif. Ruang publik digital tercipta secara semesta, di segenap penjuru dunia dan hampir di seluruh kehidupan umat manusia. Mereka yang memiliki modal (kapital), maka merekalah penguasanya.

Tidak banyak yang menyadari bahwa dunia digital selalu bersifat kontradiktif, yaitu di satu sisi menghadirkan negativistik yaitu dominasi, tetapi di sisi lain digital secara positivistik berpotensi membebaskan manusia. Teknologi komunikasi, termasuk digital di dalamnya, melahirkan apa yang disebut sebagai tekno-determinisme, yang terdiri dari tekno-pesimisme dan tekno-optimisme (Fuchs: 2021, 173-174). Sebagaimana Karl Marx menganalisis teknologi berdasarkan dialektika antara teknologi sebagai sarana eksploitasi, dan teknologi sebagai sarana pembebasan.

 

“Dalam kapitalisme, teknologi adalah alat produksi nilai lebih dan kontrol.

Baca Juga


Pada saat yang bersamaan, teknologi meningkatkan kontradiksi antara
kekuatan produktif dan hubungan produksi, sehingga bentuk permulaan
masyarakat berbasis kepemilikan bersama, tidak dapat diwujudkan dalam
kapitalisme, dan dalam hubungan dengan kekayaan pribadi yang keduanya
membentuk salah satu faktor yang berkontribusi terhadap krisis-
krisis ekonomi.” (Christian Fuchs: 2021, 54).

Dunia Kepalsuan dan Manusia Satu Dimensi

Kecerdasan buatan (AI) didefinisikan sebagai “teknologi yang memungkinkan komputer dan mesin untuk mensimulasikan pembelajaran, pemahaman, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, kreativitas, dan otonomi manusia,” (Stryker & Kavlakoglu, 2024).

Dari definisi ini, secara sederhana AI dapat dipahami sebagai produk teknologi, berupa sistem komputer dan mesin, yang dapat meniru (simulasi) dalam cara belajar, pemahaman, pencarian solusi, membantu pengambilan keputusan (decision making), mengkreasikan suatu seni atau produk budaya lainnya, serta memungkinkan manusia lebih mandiri.

Simulai bermakna sebagai “metode pelatihan yang memeragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaaan yang sesungguhnya,” atau “penggambaran suatu sistem atau proses dengan peragaan berupa model statistik atau pemeranan,” (KBBI, Depdiknas: 2018, 1310).

Terminologi simulasi sebagai konsep diintrodusir oleh filosof Prancis bermazhab post-strukturalis, Jean Paul Baudrillard. Dalam essai berjudul Simulations (1981, 1983), simulasi digambarkan sebagai “pengganti ideologi, bukan sebagai ideologi kekuasaan, melainkan skenario kekuasaan.

Hubungan antara simulasi dan ideologi, demikian Baudrillard, bahwa ideologi hanya berkait dengan “pengkhianatan” kenyataan oleh tanda; sedangkan simulasi berkait dengan sirkuit pendek dari kenyataan dan terhadap penggandaan ulangnya oleh tanda-tanda..ia merupakan permasalahan palsu untuk mengembalikan kenyataan di bawah simulacrum,” (Azis [ed]: 2001, 21).

Dalam pengertian yang lebih sederhana, dengan metafora peta sebagai “bukan abstraksi suatu lokasi/ wilayah yang sebenarnya melainkan hanya sebagai gambar tiruan dari suatu lokasi/wilayah,” maka simulasi berarti “penciptaan oleh model-model realitas tanpa asal atau realitas, yaitu hiperrealitas.”

Dalam hal ini, Baudrillard memberi contoh bahwa wahana permainan raksasa seperti Disneyland, merupakan model sempurna dari semua tatanan simulasi yang saling terkait. Disneyland adalah permainan ilusi dan fantasi (https://web.stanford.edu/).

Dengan demikian, apabila AI didefinsikan sebagai “teknologi yang memungkinkan komputer dan mesin untuk mensimulasikan pembelajaran…hingga (sebagai fasilitator) kreativitas dan otonomi manusia,” sebagaimana dijelaskan oleh Stryker & Kanvlakoglu (2024), maka tidak terlalu berlebihan jika pada aspek tertentu produk AI, sebagiannya adalah bentuk ilusi, atau perwujudan dari imajinasi yang berjarak dengan realitas (hiperrealitas).

 

Hiperrealitas adalah kondisi di mana, akibat kompresi persepsi akan realitas dalam budaya dan media, apa yang umumnya dianggap nyata dan yang dipahami sebagai fiksi, bercampur bersama dalam pengalaman manusia. Artinya, dalam hiperrealitas, batas antara yang nyata dengan yang fiksi, menjadi nisbi (relatif), alias nyaris tidak berjarak.

Dalam perspektif Teori Kritis, apabila teknologi komputasi, yang antara lain menelorkan AI, dianggap sebagai komoditas, tak pelak lagi AI akan melahirkan fetisisme, yaitu kondisi di mana “benda dipuja oleh sebagian orang, karena diyakini memiliki kekuatan magis (ekstra),” (Oxford Learner’s Dictionary: 2010:547).

AI terlampau digandrungi, diandalkan, dan didewakan. Tanpa AI, hidup terasa jadul, dan mundur satu abad ke belakang. AI seolah merupakan “malaikat” dalam wujud robot, yang mampu meningkatkan harkat dan derajat manusia, pada posisi paling tinggi.

Padahal boleh jadi, AI adalah representasi manusia yang muncul di ujung akhir zaman, yaitu Dajjal. Jika demikian, maka apa yang digelisahkan oleh Herbert Marcuse (1972) dalam One Dimensional Man (Manusia Satu Dimensi) mewujud di era informasional ini.

 

Manusia Satu Dimensi Marcuse menekankan pada realitas bahwa manusia pada zaman industri modern, berkembang menjadi manusia berdimensi satu, yaitu setiap orang dalam masyarakat industri diperbudak oleh produksi, berada dalam masyarakat konsumsi (Husain HPW, dkk., 2008).

Sebagaimana dijelaskan Agus Darmaji (2013), Manusia Satu Dimensi bercirikan tiga hal. “Pertama, masyarakat berada di bawah prinsip teknologi. Kedua,
masyarakat menjadi irasional, di mana terjadinya penyatuan produktivitas
dan destruktivitas sekaligus, dan Ketiga, semua segi kehidupan manusia,
hanya diarahkan kepada satu tujuan, yaitu demi peningkatan dan
kelangsungan satu sistem yang telah berjalan. Tanpa disadari, manusia tidak
lagi memiliki dimensi-dimensi lain, bahkan demi tujuan satu
dimensi itu, dimensi-dimensi lain disingkirkan .”
(Herbert Marcuse dalam Agus Darmaji, 2013)

Dari perspektif tekno-pesimisme atau dari aspek dominasi, pemanfaatan AI sebagai produk teknologi komunikasi paling modern di abad ini, menjadi sarana penyebarluasan ideologi yang bertentangan, sarana penindasan, perundungan, pembodohan, pemalsuan, dan berbagai bentuk kejahatan manusia atas manusia lainnya. Kecanggihan teknologi AI, jika jatuh di tangan orang yang salah, akan sangat berbahaya bagi kehidupan ini. Berbagai contoh dapat dikemukakan antara lain:

1.Merajalelanya deep fake, yang merupakan residu utama teknologi AI. Pada era media lama, berita palsu (fake news) yang dimakna sebagai hoaks, disinformasi atau misinformasi, menjadi residu yang mewarnai mode komunikasi media, tetapi deep fake di masa kini lebih brutal lagi. Para tokoh, mulai dari Presiden, Menteri, Artis, Pendakwah hingga Ketua Organisasi Massa Islam, menjadi bintang iklan digital, yang mempromosikan obat.

2. Alih-alih mencerdaskan pelajar dan mahasiswa, AI justru membuat kaum pembelajar malas berpikir. Aplikasi AI bisa secara instan dipakai untuk menyelesaikan tugas pelajaran/perkuliahan. Proses pengunduhan dan penyajian pengetahuan begitu cepat dilakukan, tetapi sejatinya membuat pelajar/ mahasiswa jadi malas membaca dan berusaha menelusuri referensi.

3.Plagiasi, dan pembajakan karya cipta difasilitasi dengan lengkap oleh AI. Teknologi AI yang berbasis mesin pembelajaran meniadakan aspek hak cipta (copy righ). Seluruh data yang dihasilkan AI, tidak ada yang mengklaim sebagai karyanya, karena dihasilkan oleh mesin.

4. Akselerasi peretasan (hacking). Dengan otomatisasi, tindakan jahat seperti phishing, pengiriman virus ke perangkat lunak, dan memanfaatkan sistem AI karena cara mereka memandang dunia, mungkin sulit diungkap oleh manusia sampai ada masalah nyata yang harus dihadapi (https://bernardmarr.com/).

5.Berpotensi membentuk terorisme baru, mulai dari perluasan penggunaan drone otonom, dan pengenalan kawanan robot hingga serangan dari jarak jauh, atau penyebaran penyakit melalui robot nano (https://bernardmarr.com/). 

*Dosen Komunikasi Media Universitas Muhammadiyah Jakarta

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler