Tak Hanya Rupiah, Ekonom Ungkap Mayoritas Mata Uang Asia Juga Tertekan

Kebijakan ekonomi terbaru juga meningkatkan sentimen negatif di kalangan investor.

dok. Pixabay
Ilustrasi Uang Rupiah
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pelemahan nilai tukar Rupiah sebesar 0,7% ke level Rp 16.578 per dolar AS pada Jumat (28/2/2025) membuat mata uang RI menyentuh titik terendah sejak April 2020. Pelemahan ini terjadi di tengah kebijakan tarif impor dari Kanada dan Meksiko yang mulai berlaku pekan ini.

Baca Juga


Menanggapi kondisi ini, Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi pasar guna menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing serta menjaga kepercayaan pasar. Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter BI, Edi Susianto, menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk memastikan stabilitas Rupiah tetap terjaga di tengah ketidakpastian global yang meningkat. 

Ekonom dari KISI ASSET Management Arfian Prasetya Aji mengungkapkan, mayoritas mata uang Asia juga menghadapi tekanan akibat kebijakan perdagangan AS serta ketidakpastian terkait arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed).

Faktor domestik, termasuk kebijakan ekonomi terbaru, turut meningkatkan sentimen negatif di kalangan investor, yang tercermin dari arus keluar modal sebesar Rp10,33 triliun dalam sepekan terakhir. 

Kendati demikian,  Arfian menjelaskan, Rupiah kembali menguat ke kisaran Rp16.444 pada Rabu (5/3/2025).


Penolakan China hambat ekspor batu bara

Dalam keterangan tertulisnya, Arfian juga mengungkapkan, penolakan China terhadap HBA Baru berpotensi menghambat ekspor batu bara. Dia menyoroti, dalam perkembangan sektor energi, beberapa pembeli batu bara asal China menolak implementasi Harga Batubara Acuan (HBA) yang baru. 

Eksportir batu bara Indonesia pun meminta masa transisi selama enam bulan untuk mengakomodasi perubahan ini, mengingat sosialisasi dan implementasi kebijakan dinilai terlalu cepat. Penetapan HBA bertujuan untuk memberikan Indonesia kontrol lebih besar atas harga ekspor batu bara serta menjaga stabilitas harga domestik. 

Meski demikian, kebijakan ini berpotensi menghambat permintaan dari China, dengan kemungkinan adanya pembatalan atau renegosiasi kontrak oleh pembeli. Jika hal ini terjadi, maka dampaknya dapat berujung pada penurunan volume ekspor dan pendapatan dari sektor batu bara Indonesia. 

 

Perumahan terjangkau

Dalam sektor perumahan, Arfian mengungkapkan, kebijakan Bank Indonesia menyetujui dukungannya terhadap program perumahan terjangkau yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo dengan menyediakan likuiditas sebesar Rp130 triliun.

BI menegaskan bahwa dukungan ini sejalan dengan kebijakan makroekonomi yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta kesejahteraan masyarakat melalui sektor perumahan.

BI juga menegaskan tiga bentuk dukungan terhadap program perumahan yakni memastikan program Asta Cita berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil, menyediakan insentif likuiditas bagi bank-bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas, termasuk perumahan dan mendukung pendanaan program perumahan dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Menurut Arfian, peningkatan likuiditas di sektor perbankan diharapkan mampu mempercepat penyaluran kredit ke sektor perumahan, yang memiliki efek berantai terhadap berbagai industri seperti semen, baja, bahan bangunan, serta tenaga kerja konstruksi.

Dia mengatakan, kebijakan ini juga memunculkan perdebatan mengenai independensi Bank Indonesia. Beberapa investor menilai bahwa keterlibatan BI yang terlalu dalam dalam kebijakan pemerintah dapat mengurangi kredibilitasnya sebagai otoritas moneter yang independen. Jika kekhawatiran ini berlanjut, maka potensi arus modal keluar bisa meningkat, yang pada akhirnya dapat berdampak pada stabilitas sektor keuangan Indonesia.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler