Bot Tiket Konser Dinilai Rugikan Industri Musik
Kasus penipuan terkait konser yang dilaporkan naik pada 2024.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Panggung musik Tanah Air memulai 2025 dengan gegap-gempita melalui penampilan sederet musisi internasional. Sayangnya, tingginya antusiasme masyarakat dan permintaan tiket konser ini juga datang dengan masalah penipuan dan praktik curang penjualan tiket konser.
Praktik penipuan penjualan tiket konser sering kali melibatkan identitas palsu di media sosial, memanfaatkan tingginya permintaan tiket di kalangan penggemar musik. Para oknum yang tidak bertanggung jawab ini juga kerap menggunakan identitas samaran, seperti penyalahgunaan KTP orang lain, untuk mengelabui pembeli, serta rekening bank sementara untuk memproses transaksi.
Pada 2024, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat setidaknya 182 kasus penipuan terkait konser yang dilaporkan, dengan total transaksi mencurigakan mencapai Rp2,3 miliar. Angka ini melonjak signifikan dari 119 kasus di tahun 2022, dengan transaksi mencurigakan mencapai Rp735 juta. Merespons hal ini, musisi Ananda Badudu dari kelompok musik Banda Neira, mengatakan bahwa penggunaan bot untuk beli tiket konser adalah contoh pemanfaatan teknologi untuk tujuan yang salah. Penggunaan bot juga merugikan industri musik dan publik.
Menurutnya, dana dari konsumen seharusnya dimanfaatkan untuk menutup produksi atau memberi profit bagi promotor dan artis untuk menjamin perputaran dan kesinambungan industri, tapi calo menggiringnya ke luar ekosistem sehingga merugikan stakeholder utama dalam industri yakni konsumen, artis, dan promotor. "Bot sangat merugikan publik karena orang yang benar-benar hendak membeli tiket atau ikut war tiket akan kalah oleh bot yang dioperasikan oleh calo yang akan menjual ulang tiket dengan harga yang lebih mahal," kata Ananda dalam keterangan tertulis, dikutip pada Ahad (9/3/2025).
Untuk menekan praktik kecurangan ini, Tools for Humanity, sebuah perusahaan teknologi global, menghadirkan teknologi Proof of Human (PoH) melalui World. Teknologi ini dirancang untuk memastikan bahwa hanya manusia asli, bukan bot, yang dapat membeli tiket konser. Teknologi PoH mengintegrasikan langkah-langkah verifikasi yang mengharuskan pengguna membuktikan identitas mereka sebagai manusia asli secara anonim melalui verifikasi iris mata menggunakan Orb.
Hal ini dinilai tidak hanya akan melindungi para penggemar musik dari praktik percaloan dan penipuan tiket, tetapi juga memungkinkan penyelenggara atau promotor acara untuk mendapatkan data penjualan yang lebih akurat. General Manager Tools for Humanity Indonesia, Wafa Taftazani, menilai Proof of Human bukan sekadar solusi teknologi, tetapi juga sebuah langkah nyata untuk membangun ekosistem digital yang lebih adil dan aman bagi semua orang, termasuk komunitas musik di Indonesia.
“Kami percaya bahwa dengan mengadopsi teknologi ini, para penggemar musik nantinya dapat terlindungi dari penipuan dan pada akhirnya mendukung pertumbuhan industri musik yang lebih sehat,” kata dia.