Titik Nol Itu Bernama 'Ramadhan'
Puasa adalah perjalanan ibadah yang paling rahasia antara manusia dengan Tuhan.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Andriasari, (Dosen Fakultas Hukum Unisba)
Dalam sebuah penggalan novel yang ditulis Haruki Murakami Kafka on The Shore, sang pencerita berkisah tentang perjalanan seorang manusia bernama Hosino dan seorang kolonel fiktif menuju ke tepian hutan. Perjalanan itu menyentak nalar tokoh Hosino. Di situ, tiba-tiba sang kolonel mengajukan pertanyaan tentang bagaimana rupa Tuhan dan apa saja yang dikerjakan-Nya setiap hari.
Meski Hosino kebingungan, lalu kemudian ia menjawab, “Jangan tanya saya. Tuhan ya Tuhan. Ia di mana-mana, mengawasi apa yang kita lakukan, menilai apakah itu baik atau buruk.” Lalu sang kolonel itu menyela dan berkata, “Tuhan kok seperti wasit sepak bola.”
Dari penggalan percakapan novel itu, alam batin manusia (yang berpikir) kemudian akan merasa “ditohok”. Sang tokoh Hosino kemudian mundur pascapercakapan itu dan menghindari segala percakapan tentang “Tuhan”. Ia kemudian lebih memilih mendefinisikan alam, semesta, Tuhan sebagai segala sesuatu yang penuh cinta dan Maha Lembut, bukan pembenci apalagi menghukumi.
Saya tidak bisa memastikan apakah Murakami mempelajari Islam dan sejarahnya atau setidaknya mengenali Islam sebagai agama. Dalam imajinasi saya, seandainya ia mengenal Islam, percakapan itu akan bergeser pada bagaimana manifestasi keyakinan pada eksistensi Tuhan, bukan lagi memperdebatkan paras dan rupa-Nya. "God is a concept by which we measure our pain" akan bergeser menjadi "God is everything concept without questions tag; God is love even though in the pain."
Saya sedikit berangan-angan, seandainya setting percakapan tokoh Hosino dan kolonel fiktif itu dalam sebuah "terminal" bernama Ramadhan, mereka diajak memilih sebuah keberangkatan untuk mencecapi rasa baru dari keimanan setelah mereka selesai dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan. Mereka kemudian menguji keyakinan dan imannya dalam sebuah ritus menahan lapar dan haus di siang hari, dimulai dari terbit matahari hingga tenggelam.
Puasa adalah perjalanan ibadah yang paling rahasia antara manusia dengan Sang Khalik. Ia ibarat mesin penanda bagi manusia dalam menggunakan tubuh dan jiwanya, melatih kelenturan jiwanya untuk berpihak dan membela mereka yang malang dan lapar. Puasa dalam Ramadhan adalah satu dari sekian banyak persembahan dari seorang kekasih untuk Kekasih yang bahkan tak pernah dikenal rupa, bentuk, dan parasnya. Puasa adalah ibadah ikhlas, menyerahkan diri pada perjalanan rahasia menuju keridaan-Nya semata.
Di "terminal" Ramadhan, iman akan diuji sejauh mana ia bertumbuh. Ia tak perlu menyandarkan diri pada simbol-simbol kesalehan. Keberimanan seorang manusia tercermin dari bagaimana ia berlaku sebagai seorang pecinta yang mengarusutamakan kemanusiaan. Ia adalah jantung keberagamaan seorang manusia. Saya kembali teringat dengan ungkapan seorang Voltaire pada tahun 1750, kurang lebih seperti ini:
"Seorang yang beragama adalah seseorang yang menerima dengan teguh adanya satu wujud yang Maha Luar Biasa, Maha Luhur, yang menghukum kejahatan tanpa sikap yang kejam dan yang dengan baik hati memberikan anugerah pada laku kebajikan. Seorang yang beragama tak lagi mempertanyakan bagaimana cara Tuhan menghukum, bagaimana cara Tuhan menganugerahi, bagaimana Tuhan mengampuni, sebab ia tak menganggap dirinya mengerti laku Tuhan. Yang ia ketahui, Tuhan itu adil."
Dalam setiap rute perjalanan dari terminal "Ramadhan", manusia diajak melatih pikirannya agar dipenuhi dengan zikir. Ia akan disibukkan dengan melihat kebaikan-kebaikan yang berserakan seperti daun-daun kering yang bercampur debu dan kotoran.
Baginya, daun, debu, bahkan sekalipun kotoran adalah sebentuk dari Kekuasaan Tuhan; keindahan. Ia tak akan menentukan kadar kesucian dari masing-masing entitas itu. Ia menginsyafi bahwa kekuasaan Tuhan adalah seluas laut Ke-Tak-Ada-an yang sarat cinta, penerimaan, dan berujung maaf—rute perjalanan kembali ke titik nol.
Karena Ramadhan menghantarkan sebuah pesan tentang lezatnya iman dalam keberserahan—pada simpul harapan yang terlatih dalam perut-perut yang lapar. Selamat datang di titik nol.