Tingkat Religiositas Generasi Muda Turun, Bagaimana Dakwah Efektif untuk Gen Z?

Gen Z lebih ingin mencari jawaban individual tentang jati diri dan makna hidup.

Republika/Thoudy Badai
Jamaah menyimak materi dakwah yang disampaikan oleh Habib Jafar saat acara Glow Up Qolbu di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, Ahad (16/2/2025). Kajian yang diselenggarakan oleh Muslim Pro App tersebut mengangkat tema Membangun Kebiasaan Positif Selama Ramadan yang digelar dalam rangka menyambut bulan suci ramadan.
Rep: Muhyiddin Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munculnya kelompok spiritual tetapi tidak religius (Spiritual but not Religious/SBNR) merupakan fenomena yang terus berkembang di tengah masyarakat dunia. Di bulan Ramadhan pun banyak Generasi Z (Gen Z) yang mengidentifikasi diri sebagai individu yang spiritual, tetapi tidak selalu terikat pada institusi agama.

Baca Juga


Berdasarkan data Pew Research Center, tingkat religiositas pada generasi muda kini menurun, fenomena yang tidak hanya terjadi di Barat, tetapi juga mulai terlihat di Asia, termasuk Indonesia (Youthlab, Pew Research center, 2023).

Lantas apa yang dimaksud dengan fenomena SBNR ini?

Peneliti anak muda dan pendiri Youth Laboratory (Youthlab) Indonesia Muhammad Faisal menjelaskan SBNR merupakan fenomena spiritualitas generasi yang lebih memilih eksplorasi pribadi dibandingkan agama formal.

"Jadi SBNR sebetulnya fenomena generasi yang sifatnya global, bahwa generasi sekarang itu lebih condong pada eksplorasi spiritualitas ketimbang kepada agama," ujar Faisal kepada Republika.co.id, Selasa (18/3/2025).

Kemungkinan besar, menurut dia, fenomena baru SBNR ini muncul karena adanya kompleksitas informasi dan juga berbagai krisis yang dihadapi oleh generasi saat ini.

"Jadi, berbeda dengan generasi milenial yang tumbuh besar di awal percepatan teknologi dan media informasi, terutama media sosial," ucap Faisal.

Pada masa itu, generasi milenial lebih banyak optimisme terhadap ekonomi, politik, dan masa depan. Sehingga, kata Faisal, generasi milenial lebih banyak kecenderungannya kepada komunitas agama.

 

"Kalau di Indonesia kita bisa lihat misalnya fenomena pemuda hijrah Shif, kemudian hijaber," kata Faisal.

Berbeda dengan generasi milenial, Gen Z justru lebih ingin mencari jawaban individual tentang jati diri dan makna hidup.

"Gen Z sekarang lebih ingin mencari jawaban-jawaban yang sifatnya individual, jawaban tentang jati diri, makna hidup, gitu. Atau falsafah tentang adakah Tuhan? Di mana Tuhan? Gitu," kata Faisal.

Menurut dia, Gen Z cenderung melakukan pencarian secara individual karena menghindari adanya prasangka dan judgemental dari sebuah komunitas agama.

Lalu, bagaimana pendekatan dakwah yang efektif untuk Gen Z?

Menurut Faisal, pendekatan yang lebih mendalam dan reflektif dalam dakwah diperlukan untuk menjangkau generasi Z yang mencari pemahaman spiritual di era modern.

"Jadi yang masuk ke Gen-Z menurut saya pada saat ini bukan sekadar pendekatan spiritualitas maupun gimik," ujar Faisal.

Dia mengamati saat ini ada beberapa pendakwah yang masih menggunakan gimik dalam dakwahnya. Misalnya, berpakaian seperti tokoh anime One Piece ataupun menggunakan lagu-lagu yang ada di TikTok.


 

"Secara awareness mungkin itu nggak apa-apa, tapi secara pengaruh itu tidak terlalu tepat sasaran," ucap Faisal.

Sekarang, justru yang mulai mendapatkan perhatian dari Gen-Z itu adalah penceramah yang bicara tentang filsafat hidup dan pemikiran, seperti Fahruddin Faiz dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabrang Mowo Damar Panuluh, dan Habib Husein Ja'far Al Hadar.

"Mungkin Habib Ja'far dalam beberapa konteks juga bicara tentang pemikiran dengan cara yang humoris, tanpa melakukan judgement (penilaian) terhadap keberagaman seseorang," kata Faisal.

Menurut Faisal, model dakwah seperti itu sangat efektif untuk masuk ke kalangan Gen Z, yaitu dakwah yang membahas filsafat hidup dan humor yang non-judgemental.

Sayangnya, di bulan Ramadhan kali ini Faisal masih banyak menemukan penceramah di media sosial yang hanya mengikuti tema yang sedang viral. Padahal, Gen Z ini haus akan ajaran tentang falsafah hidup dan spiritualitas (tasawuf).

Dia pun membandingkan dengan penceramah di Eropa, yang di media sosialnya cenderung menggali ajaran Islam secara substantif dan bisa memberi jawaban terhadap komunitas masyarakat Eropa yang beragam dan cenderung sekuler.

"Konten-konten seperti itu kita bisa dapati itu dari komunitas Muslim di Eropa. Begitu pula di Timur Tengah juga sekarang pendekatannya menggunakan AI untuk mengangkat lagi riwayat-riwayat para sahabat atau keluarga Nabi," jelas dia.

"Nah, itu yang yang sebetulnya perlu juga ada pendekatan itu di Indonesia. Sayangnya, sekarang semua lebih cenderung ikut yang viral-viral," ucap Faisal.

Infografis 4 Ujian yang Kuatkan Nabi Muhammad - (Republika.co.id)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler