Benang Kusut Jadi Cuan Mulus: Inovasi dan Kolaborasi Bikin Tekstil RI Naik Kelas

Industri TPT ini berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja.

Pekerja mengoperasikan mesin untuk memproduksi pakaian rajut di Sentra Rajut Binong Jati, Bandung, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Kementerian Perindustrian menargetkan sektor industri  kimia, farmasi dan tekstil didorong untuk tumbuh dari 6,59 persen pada tahun 2025, 7,97 persen pada tahun 2027, dan 7,59 persen pada tahun 2029.
ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Pekerja mengoperasikan mesin untuk memproduksi pakaian rajut di Sentra Rajut Binong Jati, Bandung, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Kementerian Perindustrian menargetkan sektor industri kimia, farmasi dan tekstil didorong untuk tumbuh dari 6,59 persen pada tahun 2025, 7,97 persen pada tahun 2027, dan 7,59 persen pada tahun 2029.
Rep: Frederikus Dominggus Bata Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memetakan berbagai hal berkaitan dengan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri saat ini. Dimulai dari tantangan yang dihadapi, peluang yang bisa diambil, permasalahan, mitigasi penyelesaian masalah. Kemudian kebijakan untuk pengembangan industri tersebut, ke depannya. 

Baca Juga


Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin, Rizky Aditya Wijaya menerangkan, tantangan pertama mengacu pada perkembangan ekonomi dunia. Ini terkait inflasi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, serta Trump Effect.

Kedua, masalah perdagangan ada lima kali peningkatan di pasar-pasar ekspor Indonesia. Untuk trade barriers sejak 2015 dengan tahun 2023 sebanyak 500 restrictions di pasar ekspor domestik. Ketiga menurunnya permintaan dari masyarakat sendiri, terkait dengan ekonomi.

"Sementara ada peluang di sini untuk tekstil dan produk tekstil, itu adalah sustainability yang merupakan barang primer, kebutuhannya tetap ada dan tetap bertumbuh, seiring dengan meningkatnya populasi," kata Rizky di Kompleks Parlemen, Senayan, beberapa waktu lalu.

Berikutnya, ada peluang di pasar sportswear. Pasar di sektor tersebut berkembang lebih cepat dibanding pasar fashion. Ketiga, dari aspek merk sendiri (brand differentiation dan customer experience).

Pemerintah merincikan permasalahan di sektor TPT saat ini. Pertama, jelas Rizky, banyaknya impor produk jadi dengan harga sangat murah masuk pasar Indonesia. Produk impor tersebut berhadapan langsung dengan produk dalam negeri. Persetujuan Impor (PI) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) belum mempertimbangkan faktor harga dan supply demand.

Kedua, banjirnya produk impor itu masuk melalui marketplace dan sosial media (Tiktok Shop, dll). Ketiga, impor ilegal dan impor pakaian bekas (thrifting). Keempat, menurut Rizky stigma sunset industri menyulitkan TPT dalam mengakses sumber pembiayaan.

"Padahal persentase permesinan untuk kebutuhan industri TPT rata-rata di atas 20 tahun," katanya.

Kelima, penurunan utilisasi industri konveksi dan alas kaki IKM (Industri Kecil Menengah) sebesar rata-rata 70 persen semenjak pemberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Keenam, permasalahan geopolitik global yang berimplikasi pada penurunan permintaan pakaian jadi dan alas kaki, dari negara tujuan ekspor, khususnya Amerika dan Uni Eropa.

Ketujuh, India, Turki, dan Vietnam sudah menerapkan restriksi melalui kebijakan trade remedies (anti dumping dan safeguard) serta kebijakan non-tariff barrier seperti Quality Control Orders (QCO) oleh India untuk produk viscose staple fiber (VSF) dan alas kaki. Kedelapan, belum ditandatanganinya kerjasama perdagangan I-EU CEPA (Perundingan Indonesia- European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement).

Mitigasi penyelesaian masalah

Pemerintah kembali mengaktifkan pengenaan instrumen tariff barrier dan non-tarif barrier bagi perlindungan industri TPT dalam negeri. Penegakan dan pemberantasan impor ilegal dan pakaian bekas, pengawasan ketat penjualan melalui marketplace dan sosial media (Tiktok Shop dll.).

Mengembalikan pengaturan dan pengendalian, kembali ke Permendag 36/2023, berupa pengendalian impor dengan memberikan kuota. Promosi yang intens untuk membuka akses pasar ekspor non tradisional.

Memperluas cakupan industri dan penambahan anggaran program restrukturisasi  mesin/peralatan TPT. Penandatanganan dan implementasi IEU-CEPA. Kajian kebijakan pengaturan pelabuhan entry point untuk importasi pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, alas kaki, dan tas.

Buruh berjalan keluar dari Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Pabrik tekstil Sritex yang dinyatakan pailit dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang akan menghentikan seluruh operasionalnya pada 1 Maret 2025. - (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

 

Kebijakan Pengembangan untuk Industri tekstil, kulit, dan alas kaki ke depannya

Pertama untuk jangka pendek, menurut Rizky, Kemenperin akan melakukan perluasan cakupan dan penambahan anggaran program restrukturisasi mesin/peralatan TPT demi meningkatkan daya saing dan produksi dari industri ini. (Permenperin 20/2024), untuk tahun 2025 alokasi anggaran hanya Rp 15 miliar.

Kedua, melakukan penegakan dan pemberantasan impor ilegal (bekerja sama dengan instansi lain), terhadap pakaian bekas. Serta pengawasan ketat perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dan kewajiban label bahasa Indonesia. Ketiga, melakukan pengendalian impor melalui proses revisi Permendag 8/2025 (Permendag TPT dalam proses), dan Permenperin 5/2024 (dalam pembahasan) dan business matching substitusi impor. Juga perpanjangan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) pakaian dan aksesoris (dalam proses penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KKPI). 

Terakhir, mendorong ekspor melalui kerja sama bilateral, ataupun kemampuan peningkatan industri dalam negeri untuk mendorong ekspor ke negara-negara maju.

"Seperti yang tadi pak Dirjen sampaikan, mendorong penggunaan bahan baku yang ramah lingkungan, ini khususnya untuk pasar ke negara-negara maju yang sudah sangat aware akan hal itu," ujar Rizky.

Selanjutnya untuk pendekatan jangka panjang, Kemenperin akan mengusulkan insentif ekspor untuk komoditas TPT, juga mempelajari peluang-peluang kerja sama dengan negara lain, termasuk Eropa, dan lainnya. Penandatanganan dan implemntasi IEU-CEPA. Penambahan anggaran program restrukturisasi mesin/peralatan TPT. Terakhir, menyediakan kemudahan akses dan penyediaan kredit dengan bunga rendah, untuk industri TPT.

Pada kesempatan serupa, Rizky turut membahas penyerapan tenaga kerja. Hal itu menjadi sorotan akhir-akhir ini. Untuk tenaga kerja, pada 2024, sektor tekstil dan pakaian jadi menyerap karyawan sebesar 3.873.127 orang. Industri TPT ini berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 19,19 persen, dari keseluruhan sektor industri manufaktur. 

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho memberikan ulasan mengenai hal ini.

Andry menjelaskan, bicara tentang industri TPT, gambarannya luas. Artinya, harus dilihat dari hulu sampai hilir. Di beberapa periode terakhir, pembicaraan mengarah pada tantangan dan tekanan terhadap sektor tersebut.

Peneliti Indef ini menilai tekanan paling besar datang dari importasi. Terkait hal itu, perlu segera dicarikan solusinya. Sayangnya, menurut dia belum ada serangkaian kebijakan pemerintah untuk menghadang laju importasi tersebut.

"Karena porsi impornya cukup besar. Kita melihat banyak produk-produk yang masuk itu dibiarkan masuk begitu saja. Banyak produk yang datang dari China dan banyak diantaranya jauh lebih murah dari produk yang dihasilkan di dalam negeri," kata Andry, kepada Republika, dikutip Selasa (11/3/2025).

Ia melanjutkan, produk yang masuk dari impor itu, menimbulkan permasalahan lanjutan. Pasalnya, bukan hanya impor legal, tapi juga ilegal. Sejauh ini, ia melihat pelarangan terbatas (Lartas) terhadap produk impor itu, belum ada. 

Pun dengan pengawasannya. Hal ini, kata Andry menimbulkan tekanan besar terhadap industri tekstil sampai ke hulunya. "Bahan baku yang dihasilkan petrokimia itu, tidak terserap," ujar Andry.

Inilah yang terjadi. Ia juga mendorong adanya kebijakan yang bisa memproteksi pasar dalam negeri. Lantaran hal itu, belum sepenuhnya terlihat, pelaku yang beroperasi di indstri TPT, mulai berguguran satu demi satu.

Kalau sudah demikian, efeknya terasa seperti sekarang. Andry berpendapat seperti ada pembiaran terhadap situasi TPT ini. "Nah harusnya harus ada serangkaian kebijakan yang tentunya tidak secara parsial, artinya dia fokus kepada penguatan sektor industrinya. Itu menurut saya belum terlihat," tutur Peneliti Indef ini.

Ia mendengar pemerintah lebih sering membicarakan kasus pemutusan hubungan kerjan (PHK). Itu merupakan dampak yang tak bisa dihindari. Namun, lagi-lagi ia belum menemukan adanya langkah untuk membenahi sistem dari industri yang melemah itu.

Pertanyaan selanjutnya, sejak kapan muncul tekanan dan tantangan terhadap industri TPT dalam negeri? Terkait hal itu, Andry menilai perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor turut berperan. Aturan ini direvisi menjadi Permendag Nomor 7/2024, dan Permendag/8/2024.

Sejumlah asoasiasi yang bergelut di bidang tekstil juga sempat melakukan protes terkait perubahan aturan tersebut. Mereka menilai berlakunya Permendag Nomor 8 Tahun 2024 menjadi langkah mundur bagi industri tekstil nasional. 

"Momentum kritisnya ketika Permendag 36 (direvisi). Permendag 36 sebetulnya sudah mulai memberikan proteksi pasar, tapi pada akhirnya ketika itu dicabut, proteksi pasar dari hulu ke hilir sudah tidak ketat lagi," ujar Andry.

Pekerja melakukan pencucukan benang untuk dijadikan kain di PT Trisula Textile Industries, Kota Cimahi, Jawa Barat, Selasa (15/4/2025). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendorong pemerintah agar kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib dan pelabelan dalam bahasa Indonesia diberlakukan kembali di perbatasan (border) guna mengamankan pasar domestik dari limpahan impor barang tekstil yang tidak sesuai standar dan lebih murah (dumping) dari negara lain yang terdampak tarif timbal balik atau resiprokal Amerika Serikat karena berpotensi menggerus pasar domestik. - (ANTARA FOTO/Abdan Syakura)

Dari momentum tersebut, menurutnya, menurunkan minat investor yang sudah berniat masuk ke industri TPT dalam negeri. Kemudian  hal lain yang memicu industri tekstil TPT nasional melemah ketika berlakunya Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA). 

Itu membuat lalu lintas barang dari China yang masuk ke Indonesia semakin deras. "Indonesia belum memiliki kesiapan terkait dengan industri tekstil pada saat itu," ujar Andry.

Pasar dalam negeri terdampak. Ia melihat di negara lain, sudah memproteksi pasar domestik lebih baik. Mereka berusaha agar industri domestik bisa menikmati, minimal pasar mereka sendiri. 

Andry mencontohkan di China dan India sudah seperti itu. Indonesia sebetulnya memiliki pasar yang cukup besar. Sayangnya, belum ada proteksi pasar melalui kebijakan saat ini. Derasnya produk impor yang masuk memberikan tekanan terhadap daya saing produk unggulan Indonesia di tekstil.

Lalu apakah peralatan mesin dan kualitas tenaga kerja dalam negeri turut menjadi penyebab? Ia mengakui tentunya ada keterkaitan. Ia sendiri mendengar ada pembicaraan yang menyebut mesin di pabrik tekstil tertentu sudah usang, kuno, dan sebagainya.

Keadaan demikian, menurut Andry justru menimbulkan pertanyaan lanjutan. Bagaimana peran pemerintah menyikapi hal itu? Lagi-lagi perlindungan terhadap pasar sendiri sangat vital.

"Karena tidak bisa kalau kita investasi dalam bentuk teknologi, sedangkan pasarnya sendiri tidak ada," tutur Peneliti Indef ini.

Modal pengadaan teknologi cukup besar. Pemerintah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi mesin lewat Kementerian Perindustrian. Biaya penggantinya, sangat kecil dan akhirnya tidak bisa menutupi. 

Andry mendorong adanya kebijakan yang mengatur insentif terhadap mesin berkualitas. Ujungnya demi meningkatkan daya saing industri tekstil nasional. Kemudian perihal sumber daya manusia.

Menurutnya, di era sekarang banyak sekolah tinggi di bidang tekstil. Sejumlah kementerian terkait juga perlu membantu pembiayaannya. Pasalnya, output yang dihasilkan akan bersinergi dengan kebutuhan industrinya.

"Nah ini yang harusnya diberikan ke sektor TPT," katanya.

Terakhir, dalam ulasannya, Andry meminta pemerintah mencari langkah solutif untuk semua pelaku tekstil secara umum. Jangan hanya terfokus pada satu perusahaan saja. Ia melihat begitu gencarnya pemerintah melakukan penyelamatan terhadap PT Sri Rejeki Usman Tbk (Sritex).

Langkah demikian baik adanya untuk para individu terdampak PHK. Namun jika bicara industri, banyak perusahaan mengalami hal serupa. Oleh karenanya langkah penyelamatan harus mengarah ke semua pihak.

"Mengapa kebijakan itu tidak menggandeng industri TPT secara keseluruhan. Jangan sampai ada satu kejadian, disinyalir ada kepentingan poltik di sana, jangan sampai memberikan warna negatif terhadap sektor TPT secara keseluruhan," kata Andry.

Ia kembali menegaskan tentang kebutuhan akan kebijakan untuk melindungi sektor TPT secara keseluruhan. Kemudian proteksi pasar dalam negeri dari derasnya importasi juga sangat vital.

Sebagai gambaran, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri TPT Indonesia mengimpor produk TPT sebanyak 1,96 juta ton pada Januari hingga November 2024. Angka demikian lebih tinggi dibanding periode sama pada tahun sebelumnya, yakni sebanyak 1,79 juta ton.

Nilai impor TPT pada Januari-November 2024 juga lebih tinggi 5,84 persen menjadi 8,07 miliar dolar AS, dibandingkan nilai impor pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 7,63 miliar dolar AS.

Jika dirincikan, impor TPT pada Januari-November 2024 ini lebih banyak diisi oleh filamen buatan dengan kode Harmonized System (HS) 54, sebesar 602,26 ribu ton. Lalu disusul dengan impor kapas HS 52 yang sebesar 464,38 ribu ton. Kemudian impor pakaian jadi yang terdiri dari pakaian dan aksesorinya (rajutan) HS 61, pakaian dan aksesorinya (bukan rajutan) HS 62 serta barang tekstil jadi lainnya HS 63 masing-masing sebanyak 18,20 ribu ton, 15,41 ribu ton, dan 41,84 ribu ton.

Industri tekstil di Indonesia - (Tim infografis)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler