Surat Terbuka Connie Rahakundini Bakrie kepada Panglima TNI
Connie mendorong Panglima TNI merevisi Pasal 3 UU TNI Pasal 3 tentang kewenangan Kemenhan mengambil alih MRO dari TNI tiga matra.
JAKARTA -- Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie membuat surat terbuka yang ditujukan kepada Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto. Surat itu sebagai respons atas disahkannya Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di DPR RI pada Kamis (30/3/2025).
Dalam surat terbuka yang diunggah di akun Instagram @connierahakundinibakrie, Connie mendorong Panglima TNI merevisi Pasal 3 UU TNI Pasal 3 tentang kewenangan pemeliharaan dan perawatan (MRO). Berikut isinya disesuaikan dengan penyesuaian penulisan sesuai KBBI:
Yth Panglima TNI Jendral Agus Subiyanto,
Izinkan saya membuka surat terbuka ini dengan menggaris bawahi apa yang disampaikan Bang Adian Napitupulu bahwa PDIP berhasil menggagalkan upaya TNI masuk ke semua kementerian dan lembaga. Terkait ini, perlu saya sampaikan apresiasi, tetapi menurut saya seharusnya PDIP tetap mampu untuk setidaknya menunda dan mendengarkan suara adik-adik mahasiwa, akademisi, kampus dan masyarakat.
Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Karenanya, perlu saya sampaikan langsung pada Panglima isu krusial pada UU TNI yang luput dari pandangan masyarakat umum, termasuk juga keheranan saya melihat TNI yang juga memilih diam dan pasrah, yaitu terkait Pasal 3 tentang MRO.
Banyak orang di luar komunitas militer tidak memahami betapa kritisnya pengelolaan MRO dalam kesiapan tempur TNI. Padahal, Pasal 3 dalam revisi UU TNI telah memberikan kewenangan pemeliharaan, perawatan, dan overhaul (MRO) kepada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) alih-alih kepada masing-masing satuan matra (TNI AD, AL, AU), maka hal ini akan sangat berisiko. Berikut beberapa alasannya:
Menurunkan Efektivitas dan Efisiensi Operasional TNI
Setiap matra memiliki ke kekhususan dan kebutuhan teknis yang berbeda dalam perawatan alutsista. Jika MRO dipusatkan di Kemenhan, proses pemeliharaan bisa menjadi lebih lambat dan tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing matra dan dapat menghambat kesiapan tempur.
Mengurangi Kemandirian Matra dalam Mengelola Alutsista
Sebelumnya, masing-masing matra memiliki kontrol penuh atas perawatan dan kesiapan tempurnya sendiri. Jika MRO diambil alih oleh Kemhan, maka TNI bisa kehilangan kendali atas kesiapan alutsistanya sendiri karena harus bergantung pada keputusan birokrasi kementerian.
Sentralisasi Kewenangan yang Berisiko Korupsi
Jika MRO dikelola langsung oleh Kemhan, maka seluruh proses pemeliharaan alutsista akan dipusatkan bukan di masing-masing matra. Hal ini berpotensi menciptakan monopoli dalam pengadaan suku cadang dan perawatan alutsista, yang membuka celah KKN selain pengawasan akan semakin sulit dilakukan.
Potensi Kepentingan Politik dan Bisnis dalam Pengelolaan MRO
Beberapa industri pertahanan nasional (PT PAL, PT DI, atau PT Pindad dan swasta), mungkin akan diuntungkan, tetapi tanpa mekanisme yang transparan, hal ini bisa menjadi ladang bisnis bagi kelompok tertentu, bukan demi kepentingan pertahanan nasional.
Untuk itu, dengan segala hormat saya sarankan pada Panglima untuk segera mengadakan rapat luar biasa di Mabes TNI, melibatkan seluruh matra termasuk para perwira di Wantanas dan Lemhanas serta jajaran akademisi kampus bidang pertahanan keamanan dengan agenda merevisi putusan DPR dengan poin:
1. MRO Harus Tetap Dikelola oleh Masing-Masing Matra: Pemeliharaan dan perawatan alutsista harus tetap menjadi kewenangan TNI AD, AL, dan AU. Jika perlu ada koordinasi, bentuknya harus dalam mekanisme supervisi, bukan pengambilalihan penuh oleh Kemhan.
2. Peran Kemenhan Harus Dibatasi pada Pengawasan dan Kebijakan, Bukan Operasional: Kemenhan cukup berperan dalam menyusun kebijakan umum pertahanan dan pengadaan alutsista, sementara MRO tetap menjadi tanggung jawab TNI dan matra terkait.
3. Harus Ada Pengawasan Transparan terhadap MRO: Jika MRO lokal ingin diberdayakan, maka harus ada mekanisme transparan dalam pengadaan dan pemeliharaan alutsista, bukan kemungkinan monopoli terselubung oleh Kemhan dan mitranya.
Sebagai penutup, saya ingin sampaikan kepada Panglima bahwa TNI harus bersikap dan bersuara tegas jika benar UU TNI bertujuan ingin membawa kemajuan bagi reformasi militer, maka yang dibutuhkan adalah:
1. Menegaskan kembali supremasi sipil dengan membatasi keterlibatan militer dalam jabatan-jabatan sipil serta memperkuat mekanisme pengawasan oleh DPR. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai aktor politik atau administrasi pemerintahan.
2. Menjaga profesionalisme TNI dengan fokus pada tugas utama pertahanan negara, mencakup peningkatan kualitas dalam pelatihan, modernisasi peralatan, pengembangan sistem informasi, penguatan doktrin, reformasi organisasi, perbaikan infrastruktur, serta optimalisasi logistik. Agar TNI dapat lebih siap menghadapi tantangan pertahanan yang semakin kompleks di era perang modern.
3. Bersikap tegas pada pasal terkait MRO. Keberlanjutan sistem pertahanan Indonesia sangat bergantung pada kemandirian dalam pemeliharaan dan perbaikan alutsista. Karenanya, TNI perlu memastikan bahwa kebijakan terkait MRO benar-benar memperkuat ekosistem pertahanan nasional untuk menentukan apakah Indonesia dapat membangun MRO serta industri pertahanan mandiri atau terus bergantung pada pihak luar.
Jika prinsip-prinsip ini diakomodasi, maka UU TNI akan tetap sejalan dengan cita-cita membangun tentara yang profesional, kuat, dan andal. Sebaliknya, jika tidak segera dianulir, direvisi atau ditarik kembali, hal ini berpotensi menjadi kemunduran yang mengarah pada militerisme pemerintahan serta melemahkan profesionalisme TNI sebagai garda terdepan bangsa. Saya percaya bahwa TNI yang kuat adalah TNI yang profesional dan tetap berada dalam koridor konstitusi.
Merdeka!!!
Salam hormat,
Connie Rahakundini Bakrie
St Petersburg, Russia, 28 Maret 2025