Komandan Militer Iran Ancam Tentara AS di Kawasan, Laporan Sebut Rudal Iran Sudah Siap
Komandan Iran mengibaratkan tentara AS di kawasan seperti berada di 'rumah kaca'.
REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Komandan senior militer Iran memperingatkan bahwa pasukan Amerika di Timur Tengah akan menghadapi pembalasan jika AS melancarkan aksi militer terhadap Iran.
Amir Ali Hajizadeh, kepala unit kedirgantaraan Korps Garda Revolusi (IRGC) Iran, memperingatkan bahwa pasukan AS di wilayah tersebut berada dalam posisi yang rentan. Amerika, kata ia, memiliki sekitar sepuluh pangkalan militer di kawasan itu—setidaknya di dekat Iran—dan 50 ribu tentara.
"Mereka seperti duduk di rumah kaca. Dan ketika Anda berada di rumah kaca, Anda tidak melempar batu ke orang lain." katanya kepada TV pemerintah pada Senin.
Sementara itu, Tehran Times melaporkan pada Ahad bahwa rudal Iran dimuat ke peluncur di semua kota rudal bawah tanah dan siap diluncurkan.
Surat kabar milik pemerintah itu mengeluarkan peringatan keras, yang menyatakan bahwa setiap eskalasi akan menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah AS dan sekutunya.
Ketegangan antara Washington dan Teheran meningkat tajam setelah Trump memberlakukan kembali kebijakan "tekanan maksimum" terhadap Iran. Pada tahun 2018, AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). Hal ini menyebabkan sanksi ekonomi yang berat terhadap Iran.
Meskipun ada tekanan ini, Iran telah meningkatkan kegiatannya, dengan mengatakan bahwa program nuklir mereka hanya untuk tujuan sipil. Namun, karena upaya diplomatik untuk kesepakatan nuklir baru gagal, situasinya menjadi semakin tidak stabil.
Peringatan Hajizadeh pun muncul setelah Trump menyatakan dalam sebuah wawancara NBC bahwa aksi militer AS terhadap Iran sangat mungkin. "Jika mereka tidak membuat kesepakatan, akan ada pengeboman," kata Trump.
"Itu akan menjadi pengeboman yang belum pernah mereka lihat sebelumnya."
Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei juga menanggapi dengan bersumpah akan melakukan 'serangan balik yang kuat' jika AS atau sekutunya melancarkan serangan.
Awal bulan ini, Trump mengirim surat kepada Khamenei. Trump mendesak perundingan nuklir sambil memperingatkan kemungkinan aksi militer. Surat itu segera ditolak dan Khamenei menuduh Trump mencoba menyesatkan opini global dengan menggambarkan Iran tidak mau berunding.
Trita Parsi, Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft mengatakan kepada Newsweek, perang kata-kata memanas antara Washington dan Teheran karena Trump mengancam akan melakukan pengeboman skala penuh dan Teheran memperingatkan akan melancarkan pembalasan.
Tidak ada pihak yang menginginkan perang dan kedua belah pihak tampaknya menganggap ini sebagai awal dari negosiasi.
"Namun, jika posisi tawar-menawar yang realistis tak diadopsi oleh kedua belah pihak dan mengabaikan pendekatan maksimalis, retorika yang meningkat ini dapat menjebak mereka berdua dalam perang yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak."