Tarif Trump, Ancaman Bagi Eksportir Indonesia di Pasar AS

Diversifikasi pasar tidak cukup hanya dengan mencari pasar baru.

Dok Republika
PT Polygroup Manufaktur Indonesia (PT PMI) melakukan ekspor perdana produk pohon natal ke Amerika Serikat dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal, pada Rabu (26/6/2024).
Red: Lida Puspaningtyas

Oleh : Mega Oktaviany, Ekonom Universitas Gunadarma / Sekretaris Eksekutif Bersama Institute

REPUBLIKA.CO.ID, Pada Januari-Februari 2025, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) sebesar USD 3,1 miliar, menjadikannya sebagai salah satu negara mitra dagang utama bagi AS. Surplus ini menunjukkan adanya hubungan ekonomi yang kuat antara kedua negara yang tercermin dari volume perdagangan yang signifikan.

Namun, meskipun surplus ini mencerminkan kinerja positif, kebijakan tarif yang diterapkan oleh mantan Presiden Donald Trump sejak 2018, yang masih berlaku hingga saat ini dengan beberapa modifikasi, memberikan tantangan besar bagi eksportir Indonesia.

Kebijakan tarif impor yang dikenakan terhadap produk Indonesia yang masuk ke pasar AS—terutama tarif sebesar 35%—menjadi ancaman langsung bagi kelangsungan ekspor Indonesia ke AS. Untuk itu, perlu dilakukan analisis lebih mendalam terkait dampak kebijakan tarif tersebut dalam konteks ekonomi global serta dampak perdagangan internasional yang lebih luas.

Tarif Impor AS dan Dampaknya pada Ekspor Indonesia

Pemerintahan Donald Trump menerapkan kebijakan proteksionisme melalui serangkaian tarif impor yang bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan negara-negara yang dianggap memiliki surplus perdagangan besar, termasuk Indonesia. Salah satu kebijakan yang paling kontroversial adalah penerapan tarif 35% pada produk Indonesia yang memasuki pasar AS. Kebijakan ini sejalan dengan teori proteksionisme yang dikemukakan oleh ekonom Friedrich List (1841), yang berpendapat bahwa negara perlu melindungi industri domestiknya melalui tarif untuk dapat bersaing di pasar internasional.

Namun, meskipun kebijakan ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri AS, dampaknya terhadap hubungan perdagangan internasional cukup signifikan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tarif yang lebih tinggi berpotensi menyebabkan penurunan volume perdagangan internasional, meningkatkan biaya bagi konsumen, serta merusak hubungan dagang jangka panjang antara negara-negara mitra (Baier & Bergstrand, 2007).

Dalam konteks Indonesia, produk seperti tekstil, elektronik, dan komoditas lainnya yang diekspor ke AS kini terancam menghadapi harga yang lebih tinggi di pasar AS, yang tentunya dapat mengurangi daya saing mereka. Di sisi lain, hal ini juga mengurangi akses pasar bagi Indonesia, yang sebelumnya mengandalkan AS sebagai salah satu tujuan ekspor utama.

 

Implikasi Ekonomi bagi Indonesia

Indonesia yang bergantung pada ekspor sebagai pilar utama ekonomi sangat rentan terhadap kebijakan tarif tinggi yang merugikan kinerja perdagangan luar negerinya. Data dari Badan Pusat Statistik (2025) menunjukkan bahwa sektor ekspor Indonesia sangat berperan dalam perekonomian negara, menyumbang hampir 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sebagai negara berkembang dengan ekonomi terbuka, Indonesia sangat bergantung pada hubungan perdagangan internasional, dan pasar AS adalah salah satu tujuan ekspor terbesar. Namun, dengan adanya tarif yang diberlakukan oleh AS, potensi penurunan permintaan terhadap produk Indonesia di pasar AS menjadi ancaman nyata.

Selain itu, pasar AS yang sangat besar dan kompetitif kini dihadapkan pada kondisi yang lebih sulit, di mana produk Indonesia yang sebelumnya dapat bersaing dengan harga yang lebih terjangkau, kini harus bersaing dengan produk-produk dari negara lain yang tidak dikenakan tarif setinggi Indonesia. Negara-negara lain yang tidak dikenakan tarif setinggi Indonesia—seperti negara-negara di kawasan ASEAN, Eropa, atau China—akan mendapatkan keuntungan dalam hal harga yang lebih kompetitif, sehingga mereka dapat dengan mudah mengambil alih pangsa pasar yang lebih besar.

 

Alternatif dan Strategi untuk Menghadapi Tantangan

Mengingat dampak dari kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS, Indonesia perlu mempertimbangkan berbagai alternatif dan strategi untuk menghadapi tantangan ini. Salah satu strategi yang dapat ditempuh Indonesia adalah diversifikasi pasar ekspor dengan memperluas jangkauan ke negara-negara selain AS, terutama negara-negara di kawasan Asia dan Eropa yang tidak terlalu terpengaruh oleh kebijakan tarif AS. Hal ini sejalan dengan prinsip diversifikasi dalam teori perdagangan internasional yang menyatakan bahwa ketergantungan terhadap satu pasar dapat meningkatkan risiko bagi perekonomian negara (Krugman, 1991).

Sebagai contoh, negara-negara di kawasan ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand, serta negara-negara besar di Eropa seperti Jerman dan Inggris, dapat menjadi pasar alternatif yang strategis bagi produk-produk Indonesia. Dengan mengalihkan sebagian besar ekspor ke pasar-pasar tersebut, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap AS dan meningkatkan stabilitas perdagangan luar negeri.

Baca Juga


Namun, diversifikasi pasar tidak cukup hanya dengan mencari pasar baru.

Pemerintah Indonesia juga harus aktif bernegosiasi dengan pihak AS untuk mencari solusi atas kebijakan tarif yang merugikan ekspor Indonesia. Negosiasi ini bisa mencakup upaya untuk menurunkan tarif atau mengatur ulang kebijakan perdagangan yang lebih adil bagi negara mitra, termasuk Indonesia.

Dalam hal ini, diplomasi perdagangan menjadi sangat penting untuk mempertahankan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan, terutama dengan negara sebesar AS. Langkah ini juga sejalan dengan prinsip negosiasi dalam perdagangan internasional yang menyarankan negara-negara untuk berusaha mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak (Bown, 2020).

Sebagai bagian dari strategi diversifikasi, Indonesia juga bisa memperkuat hubungan perdagangan dengan negara-negara yang memiliki potensi pasar besar dan tidak terkena dampak tarif tinggi, termasuk negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) dan negara-negara OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi).

BRICS, sebagai blok ekonomi yang berkembang pesat, menawarkan pasar alternatif yang besar dan berpotensi mendukung ekspansi perdagangan Indonesia. Negara-negara anggota BRICS seperti India dan Cina memiliki populasi besar dan permintaan yang kuat terhadap produk-produk Indonesia, seperti bahan mentah, produk agrikultur, dan tekstil.

Selain itu, ASEAN juga menjadi kawasan strategis untuk meningkatkan perdagangan intra-kawasan yang semakin signifikan. Indonesia dapat memanfaatkan kemitraan dan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dalam kerangka ASEAN untuk memperkuat hubungan dagangnya dengan negara-negara anggota, tanpa terpengaruh oleh kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS.

Lebih jauh lagi, keterlibatan yang lebih dalam dengan negara-negara OECD yang memiliki standar tinggi dalam perdagangan dan teknologi dapat memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas produk ekspor. Melalui hubungan yang lebih erat dengan negara-negara ini, Indonesia bisa memperoleh transfer teknologi yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi produksi dan memperbaiki kualitas produk. Ini akan membuat produk Indonesia lebih kompetitif di pasar global, meskipun ada kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh AS.

Dengan strategi diversifikasi pasar dan perbaikan kualitas produk yang lebih baik, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi dampak dari kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh AS, tetapi juga menciptakan hubungan perdagangan yang lebih berkelanjutan dengan berbagai negara. Pada akhirnya, ini akan membantu Indonesia mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan memperkuat daya saing dalam perdagangan internasional.

 

Kesimpulan

Kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS di bawah Donald Trump dan dilanjutkan oleh administrasi selanjutnya, merupakan tantangan besar bagi eksportir Indonesia. Tarif 35% yang dikenakan pada produk Indonesia dapat mengurangi daya saing di pasar AS, yang sebelumnya merupakan pasar yang sangat penting bagi Indonesia. Namun, meskipun kebijakan proteksionis ini berpotensi merugikan, Indonesia masih memiliki banyak peluang untuk mengurangi dampak negatif melalui strategi diversifikasi pasar dan peningkatan daya saing domestik.

Pemerintah Indonesia perlu proaktif dalam merespons tantangan ini dengan kebijakan yang lebih mendukung sektor ekspor, serta aktif bernegosiasi dengan pihak AS untuk mencari solusi atas kebijakan tarif yang merugikan. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat melindungi dan meningkatkan kinerja perdagangan luar negerinya di masa depan.

Referensi
Baier, S. L., & Bergstrand, J. H. (2007). Do free trade agreements actually increase members’ international trade? Journal of International Economics, 71(1), 72-95.
Badan Pusat Statistik. (2025). Laporan perdagangan luar negeri Indonesia. Retrieved from https://www.bps.go.id
Bown, C. P. (2020). The WTO and the Trump administration: A decade of trade wars. World Trade Review, 19(3), 1-21.
Krugman, P. (1991). Geography and trade. MIT Press.
List, F. (1841). The National System of Political Economy. Translated by G. A. Matile.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler