Ulama Dunia Kembali Keluarkan Fatwa Jihad Melawan Israel, Serukan Intervensi Militer
IUMS menyerukan larangan menjual atau memfasilitasi pengangkutan senjata.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS) kembali mengeluarkan fatwa jihad yang menyerukan kepada semua negara Islam dan negara mayoritas Muslim untuk melawan Israel. Fatwa ini kembali dibuat setelah genosida Israel di Palestina yang memakan lebih dari 50 ribu korban jiwa - mayoritas perempuan dan anak-anak- telah berlangsung selama 17 bulan.
Sekretaris Jenderal IUMS Ali al-Qaradaghi, Jumat (4/4/2025), menyerukan kepada semua negara Muslim untuk segera campur tangan secara militer, ekonomi, dan politik demi menghentikan genosida dan penghancuran menyeluruh ini, sesuai dengan mandat mereka.
"Kegagalan pemerintah Arab dan Islam untuk mendukung Gaza saat sedang dihancurkan dianggap oleh hukum Islam sebagai kejahatan besar terhadap saudara-saudara kita yang tertindas di Gaza," kata sekjen dari organisasi yang sebelumnya didirikan oleh Yusuf al-Qaradawi ini saat merilis sebanyak 15 poin fatwanya, seperti dilansir dari laman Middle East Monitor.
Qaradaghi adalah salah satu otoritas keagamaan yang paling dihormati di kawasan tersebut. Fatwanya memiliki bobot yang signifikan di antara 1,7 miliar Muslim Sunni di dunia. Fatwa adalah keputusan hukum Islam yang tidak mengikat dari seorang ulama yang dihormati, biasanya berdasarkan Alquran atau Sunnah - ucapan dan praktik Nabi Muhammad.
"Dilarang mendukung musuh kafir [Israel] dalam pemusnahan umat Islam di Gaza, terlepas dari jenis dukungannya," kata Qaradaghi.
“Dilarang menjual senjata kepadanya, atau memfasilitasi pengangkutannya melalui pelabuhan atau jalur perairan internasional seperti Terusan Suez, Bab al-Mandab, Selat Hormuz, atau sarana darat, laut, atau udara lainnya.
“Komite [IUMS] mengeluarkan fatwa yang mengharuskan blokade udara, darat, dan laut terhadap musuh yang menduduki untuk mendukung saudara-saudara kita di Gaza,” tambahnya.
Pernyataannya, yang juga didukung oleh 14 ulama Muslim terkemuka lainnya, menyerukan kepada semua negara Muslim untuk “meninjau perjanjian damai mereka” dengan Israel. Sementara itu, bagi umat Islam di Amerika Serikat untuk menekan Presiden Donald Trump agar memenuhi janji kampanyenya untuk menghentikan agresi dan membangun perdamaian.
Pada 31 Oktober 2023, IUMS sempat mengeluarkan fatwa yang menyerukan persatuan bagi faksi-faksi perlawanan Palestina di Tepi Barat. Termasuk negara-negara yang berbatasan dengan Israel, seperti Mesir, Yordania, Suriah, dan Lebanon serta seluruh negara Arab dan Muslim lainnya. "Untuk melakukan intervensi militer guna membantu Hamas melawan Israel. Jihad dan mempertahankan Palestina adalah kewajiban agama," demikian pernyataan tersebut.
Intervensi militer diperlukan, terutama ketika militer resmi negara Arab, hanya terkurung dalam barak, senjata berkarat dan peralatan yang rusak. Sementara itu, umat Islam dan dunia runtuh. Intervensi militer ini dinilai akan mencapai keseimbangan internasional dan mencegah penindasan yang akan memicu keributan terhadap Arab dan dunia Islam.
IUMS menjelaskan bahwa hukum Islam melarang untuk berdiam diri terhadap agresi Israel. Menurut IUMS, sikap tersebut akan menjadi pengkhianatan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Hal tersebut sekaligus merupakan salah satu dosa besar di sisi Allah SWT.
IUMS, yang didirikan pada 2004 oleh Syekh Yusuf Al-Qaradawi, didukung dan disponsori oleh Pemerintah Qatar. Selama bertahun-tahun, organisasi ini secara konsisten mempromosikan wacana gerakan perlawanan atas ketidakadilan atas umat Islam.
Pada 7 Oktober 2023, hari terjadinya insiden serangan Hamas, IUMS merilis pernyataan yang ditandatangani oleh presidennya, Salim Segaf Al-Jufri, dan sekretaris jenderalnya, 'Ali Al-Qaradaghi, yang menyebut serangan tersebut sebagai serangan yang "efektif" dan "pengembangan perlawanan yang sah."
'Kami sedang dimusnahkan'
Meskipun berulang kali berjanji untuk menghentikan perang di jalur kampanye dan mempercepat gencatan senjata sementara sesaat sebelum ia menjabat pada bulan Januari, Trump dilaporkan “memberi lampu hijau” untuk dimulainya kembali pertempuran Israel bulan lalu.
Sejak mengingkari kesepakatan gencatan senjata, Israel telah menewaskan lebih dari 1.200 orang Warga Palestina, termasuk ratusan anak-anak. Lebih dari 50.000 warga Palestina telah tewas sejak perang di Gaza dimulai pada Oktober 2023.
Pada Jumat, pasukan Israel terus menggempur daerah kantong itu, menewaskan sedikitnya 30 orang sejak fajar, menurut sumber medis setempat dan badan pertahanan sipil Gaza. Gelombang pengeboman terbaru telah menargetkan sekolah, tempat penampungan, rumah sakit, pusat makanan, zona aman yang ditetapkan Israel, dan pabrik desalinasi air.
Gambar dan video serangan hebat di Gaza menunjukkan kerusakan yang meluas di lingkungan yang padat penduduk, karena banyak warga Palestina membagikan apa yang mereka gambarkan sebagai pesan terakhir mereka kepada dunia.
Jurnalis Mohammed Abu Mostafa mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap komunitas internasional dalam beberapa posting, dengan menulis: “Selamat tinggal kepada komunitas paling pengkhianat dalam sejarah. Dalam beberapa jam, Gaza akan terhapus. Anda hanya akan menemukan kami di surga.”
Sementara itu, aktivis dan jurnalis Palestina Aboud Battah mendesak orang-orang untuk berbicara tentang Gaza, dengan menulis: “Bicaralah tentang kami. Demi Tuhan, kami sedang dimusnahkan dalam diam.”
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berjanji untuk mengintensifkan serangan untuk menekan Hamas agar memberikan konsesi lebih lanjut.
“Kami sekarang membagi Jalur Gaza dan kami meningkatkan tekanan selangkah demi selangkah sehingga mereka akan menyerahkan sandera kami,” kata Netanyahu dalam pesan video pada hari Rabu.
Netanyahu ingin Hamas membebaskan 59 tawanan Israel yang tersisa dengan imbalan tahanan Palestina dan bantuan, tetapi tanpa Israel berkomitmen untuk mengakhiri perang atau menarik pasukan.
Untuk kesepakatan gencatan senjata terakhir, Netanyahu bersikeras Hamas harus melucuti senjata - tuntutan yang disebut kelompok itu sebagai "garis merah" - dan secara terbuka mendukung rencana Israel untuk merebut kendali keamanan Gaza dan mengusir warga Palestina.
Hamas menyerukan kembalinya kerangka gencatan senjata tiga tahap yang disepakati sebelumnya dan telah menawarkan untuk membebaskan semua tawanan sekaligus dengan imbalan gencatan senjata permanen.