MUI Susun Draf RUU Islamofobia Setebal Seratus Halaman
Butuh pendekatan lintas sektoral untuk mencegah Islamofobia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Sudarnoto Abdul Hakim mengaku telah menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Islamofobia setebal kisaran 100 halaman.
Dia menegaskan, penyusunan draf tersebut menjadi bukti keseriusan penolakan MUI terhadap berbagai bentuk islamofobia.
Sudarnoto mengatakan, butuh pendekatan lintas sektor harus dilakukan untuk mencegah islamofobia pada masyarakat Indonesia. Dia pun mendorong kepada pemerintah, pemuka agama, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan terkait untuk memperkuat hubungan demi mempererat persaudaraan, dan menjauhkan Indonesia dari bahaya islamofobia.
"Kita butuh harmoni, ukhuwah insaniyah, ukhuwah basyariyah, ukhuwah islamiyah, dan terutama ukhuwah wathaniyah yang merekatkan bangsa dan menjaga integrasi nasional," tegas dia.
Dalam kegiatan diskusi tentang islamofobia yang digelar di Jakarta, Kamis, Sudarnoto menjelaskan terdapat lima tipologi islamofobia, yakni teologis, politik, kultural, genosidal, serta islamofobia dalam bantuan kemanusiaan.
"Dengan melihat lima tipologi islamofobia, menurut saya penyelesaiannya tidak bisa menggunakan satu pendekatan saja. Harus multi-approach," katanya.
Sudarnoto mengungkapkan selama ini MUI menyoroti adanya bahaya laten islamofobia di Indonesia, salah satunya dengan adanya kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan MUI untuk dibubarkan.
Ia menekankan islamofobia harus menjadi perhatian penting seluruh pihak, sebab keberadaannya berkenaan dengan stabilitas dan kepentingan nasional.
"Perhatian kita pada isu Palestina bukan semata solidaritas keagamaan, tapi juga menyangkut national interest. Kalau kita tidak masuk menangani soal islamofobia ini, potensi (bahaya)-nya akan membesar dan bisa mengganggu stabilitas sosial, merusak toleransi, dan membelah bangsa," ujarnya.
Oleh karena itu, Sudarnoto mengapresiasi kebijakan pemerintah yang menekankan adanya kerukunan antarumat beragama.
Sebelumnya, Menteri Agama Prof KH Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya menjadikan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal, yang disampaikannya dalam halalbihalal Institute for Humanitarian Islam di Jakarta, Rabu.
"Siapapun anak cucu Adam, apapun agamanya, etniknya, warga negaranya, wajib untuk dimuliakan," kata Nasaruddin Umar.
Menag menjelaskan dalam Islam hak-hak kemanusiaan tidak hanya berlaku bagi yang hidup, tetapi juga bagi yang telah meninggal.
Ia mencontohkan mematahkan tulang rusuk mayat, sama berdosanya dengan mematahkan tulang rusuknya orang hidup.
"Jadi kehumanitarian dalam Islam itu bukan hanya menghargai kemanusiaan hidup, tapi hak-hak kemanusiaan orang mati pun juga dimuliakan," kata Nasaruddin Umar.
Ia menyinggung pentingnya tidak menghakimi isi hati seseorang, karena hanya Tuhan yang mengetahui keimanan sejati.
"Kita hanya menghukum apa yang tampak, urusan hatinya orang, ya dengan intervensi, sebab itu urusannya dengan Tuhan," ujarnya.