Tekan Israel, Prancis Dorong Uni Eropa Evaluasi Kerja Sama dengan Israel

Prancis mengkritik keras Israel membiarkan Gaza mengalami kelaparan.

BPMI Setpres
Menteri Eropa dan Urusan Luar Negeri Republik Prancis, Jean-Noel Barrot di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (26/3/2025) sore WIB.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pemerintah Prancis meminta Komisi Eropa segera meninjau ulang Perjanjian Asosiasi Uni Eropa (EU)-Israel, karena memburuknya situasi kemanusiaan di Jalur Gaza dan kekhawatiran soal kepatuhan Israel terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Baca Juga


Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noël Barrot, mengatakan kepada radio France Info pada Minggu bahwa perjanjian itu perlu dievaluasi ulang, terutama karena tindakan Israel yang menghambat bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Pernyataan itu muncul di tengah krisis kemanusiaan yang kian parah di Gaza, di mana pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan sangat minim.

“Ini permintaan yang sah, dan saya menyerukan kepada Komisi Eropa untuk menindaklanjutinya,” kata dia.

Barrot menekankan bahwa perjanjian EU-Israel tersebut dibangun di atas prinsip-prinsip HAM dan demokrasi. Dia mempertanyakan apakah prinsip-prinsip itu saat ini masih dijunjung tinggi.

Saat ditanya apakah Prancis mendukung penghentian sementara perjanjian itu, Barrot mengatakan bahwa pemerintahnya akan melihat dulu kajian Komisi Eropa soal "kepatuhan Israel terhadap Pasal 2 dari perjanjian itu."

Barrot juga mengkritik keras sikap Israel terhadap krisis kemanusiaan di Gaza.

“Saya rasa kita perlu menyampaikan kenyataan apa adanya. Faktanya, warga Palestina di Gaza sedang kelaparan, kehausan, tidak punya apa-apa, dan Gaza saat ini berada di ambang kekacauan dan kelaparan besar,” kata dia.

“Saya rasa semua menyadari hal ini,” kata Barrot, seraya menyebut sikap Israel sebagai sesuatu yang "sulit dipahami."

“Dan justru dengan menyuarakan pendapat kita secara jelas, kita bisa berharap bisa memengaruhi sikap Israel,” katanya.

 

Sebelumnya, permintaan yang sama diajukan oleh Belanda, yang menunjukkan adanya perpecahan yang semakin besar di antara 27 negara anggota EU.

Beberapa negara, termasuk Spanyol dan Irlandia, telah meminta agar perjanjian itu ditangguhkan, sedangkan negara-negara lain mengambil pendekatan yang lebih hati-hati.

Awal pekan ini, Kepala Kebijakan Luar Negeri EU Kaja Kallas mengatakan bahwa blok tersebut telah menawarkan diri untuk membantu Israel menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Perjanjian Asosiasi EU-Israel, yang ditandatangani pada 1995 dan berlaku sejak 2000, mengatur hubungan perdagangan dan politik di antara kedua pihak.

Pasal 2 dari perjanjian itu menyatakan bahwa hubungan keduanya harus didasarkan pada penghormatan terhadap HAM dan prinsip-prinsip demokrasi.

Tak punya niat hentikan agresi

Utusan khusus Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk Timur Tengah Steve Witkoff menyatakan bahwa Israel tak punya iktikad menghentikan agresinya di Jalur Gaza.

Saat menemui keluarga sandera Israel yang masih berada di Gaza, Ahad, Witkoff mengatakan bahwa langkah yang paling tepat bagi Israel adalah mengusahakan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran sandera yang baru, demikian laporan Channel 12 Israel.

"Kami mau mengantar pulang para sandera, tapi Israel tampak belum siap menghentikan perang," kata Witkoff menurut sumber yang hadir dalam pertemuan itu. Channel 12 tidak melaporkan waktu atau tempat pertemuan berlangsung.

Utusan Trump itu mengecam keputusan pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu yang meneruskan serangan di Gaza. Menurutnya, Israel hanya "memperpanjang perang meski tidak ada kemajuan lagi yang dapat dicapai".

 

"Saat ini, masih ada peluang yang dapat diraih oleh Israel dan semua mediator. Kami terus menekan para mediator untuk melakukan apapun demi kembalinya para sandera," ucap dia.

Pernyataan Witkoff disampaikan menyusul rencana Hamas pada Ahad untuk membebaskan tentara Israel-Amerika Alexander Idan setelah berunding dengan pihak AS di tengah upaya mencapai gencatan senjata.

Terlebih, Presiden Trump akan melakukan kunjungan ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab pada Selasa (13/5) hingga Jumat (16/5) mendatang, meski rencana perjalanannya itu tidak mencakup kunjungan ke Israel.

Media AS dan Israel akhir-akhir ini melaporkan adanya ketegangan antara Trump dan Netanyahu. Pemerintahan Trump mengisyaratkan dapat mengambil langkah sendiri dalam kebijakan Timur Tengahnya tanpa menunggu masukan dari Netanyahu.

Israel memperkirakan masih ada 59 sandera di Jalur Gaza, termasuk 21 yang diyakini masih hidup.

 

Sementara, lebih dari 9.000 warga Palestina hingga kini ditahan Israel. Kelompok pembela HAM melaporkan masifnya kasus penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis, sehingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Israel tak kunjung menghentikan blokade bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza sejak 2 Maret, sehingga menyebabkan 2,4 juta warga Gaza terancam menderita kelaparan.

Televisi pemerintah Israel KAN turut melaporkan bahwa Netanyahu sudah mengkonfirmasi kepada komisi hubungan luar negeri dan pertahanan Knesset (parlemen Israel) bahwa ada "kemungkinan kuat" Alexander Idan benar akan dibebaskan.

Sudah lebih dari 52.800 warga Palestina, sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak, tewas akibat serangan Israel terhadap Jalur Gaza sejak Oktober 2023.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan pada November lalu terhadap pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan mantan petinggi pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait serbuan militernya di wilayah tersebut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler