AS Ancam Tarik Dukungan Jika Israel Teruskan Agresi ke Gaza
Gedung Putih menekankan Trump menginginkan selesainya perang di Gaza.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Pemerintahan Presiden AS Donald Trump dilaporkan mengeluarkan ultimatum keras kepada Israel. Mereka mengancam akan menarik dukungan jika Israel melanjutkan operasi militer di Gaza.
Washington Post melaporkan pada Senin sumber anonim yang mengetahui diskusi tersebut menyatakan bahwa para pejabat AS menyampaikan kepada Israel bahwa kegagalan untuk menyelesaikan perang akan menyebabkan penarikan dukungan Amerika.
“Orang dekat Trump memberitahu Israel, ‘Kami akan meninggalkan Anda jika Anda tidak mengakhiri perang ini,’” kata sumber itu. Amerika menyadari bahwa Netanyahu sebenarnya bisa mengakhiri agresi di Gaza sejak lama karena didukung mayoritas besar di parlemen. “Tapi dia tidak punya kemauan politik,” kata sumber tersebut.
Terkait laporan itu, Gedung Putih menekankan bahwa Presiden AS Donald Trump ingin perang di Gaza diakhiri. “Trump telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa ia ingin konflik di kawasan ini berakhir,” kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt. Ini ia sampaikan ketika ditanya apakah Washington mendukung komentar Netanyahu pada hari sebelumnya bahwa Israel akan mengambil alih seluruh Gaza seiring dengan perluasan besar-besaran kampanye militernya di Jalur Gaza.
“Presiden bergerak secepat mungkin dan bekerja lembur untuk mengakhiri konflik di Israel dan Gaza serta perang Rusia-Ukraina,” tambah Leavitt. “Presiden telah menjelaskan dengan sangat jelas kepada Hamas bahwa dia ingin semua sandera dibebaskan.”
Selama kunjungannya ke wilayah tersebut minggu lalu, Presiden Trump menyatakan bahwa "banyak orang kelaparan" di Gaza. Dia mengecualikan Israel dari rencana perjalanannya dan perjanjian yang ditandatangani, yang bernilai lebih dari triliunan dolar AS.
Surat kabar Israel Hayom mengutip para pejabat yang mengatakan bahwa masuknya bantuan ke Gaza adalah bagian dari perjanjian untuk membebaskan tahanan Edan Alexander, bertentangan dengan pernyataan Israel. Channel 12 Israel juga melaporkan bahwa masuknya bantuan ke Gaza adalah "harga" yang dikenakan Hamas kepada Washington atas pembebasan Alexander.
Media itu mencatat bahwa utusan kepresidenan AS Steven Witkoff dan utusan urusan sandera Adam Boehler "memberikan pernyataan yang bertentangan dengan keinginan Israel," dan Netanyahu tidak dapat berbuat apa-apa.
Pada Senin, menteri luar negeri dari 22 negara, termasuk Perancis, Jerman, Inggris, Kanada, Jepang, dan Australia, meminta Israel untuk “mengizinkan kembali masuknya bantuan secara penuh dan segera” ke Gaza di bawah pengawasan PBB dan organisasi non-pemerintah.
Pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Jerman mengatakan bahwa PBB dan organisasi kemanusiaan “tidak dapat mendukung” mekanisme baru pengiriman bantuan ke Gaza yang diadopsi oleh Israel. Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa'ar juga menyerukan agar bantuan segera diberikan ke Gaza, karena tekanan dari Uni Eropa dan ancaman sanksi, termasuk dari Amerika Serikat.
Sementara pemimpin Inggris, Perancis dan Kanada memperingatkan Israel bahwa negara mereka akan mengambil tindakan jika Israel tidak menghentikan serangan militer baru di Gaza dan mencabut pembatasan bantuan. Mereka juga menegaskan komitmen untuk mengakui negara Palestina.
“Penolakan Pemerintah Israel terhadap bantuan kemanusiaan penting kepada penduduk sipil tidak dapat diterima dan berisiko melanggar Hukum Humaniter Internasional,” demikian pernyataan bersama yang dilansir pemerintah Inggris. “Kami menentang segala upaya untuk memperluas pemukiman di Tepi Barat.…Kami tidak akan ragu untuk mengambil tindakan lebih lanjut, termasuk sanksi yang ditargetkan.”
"Kami selalu mendukung hak Israel untuk membela warga Israel dari terorisme. Namun eskalasi ini sepenuhnya tidak proporsional," kata Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Perdana Menteri Kanada Mark Carney, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pernyataan bersama mereka.
Para pemimpin menambahkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam sementara pemerintahan Perdana Menteri Israel Netanyahu melakukan “tindakan mengerikan ini”.
Mereka juga menyatakan dukungannya terhadap upaya yang dipimpin oleh Mesir, Qatar dan Amerika Serikat untuk segera melakukan gencatan senjata di Gaza, dan menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk mengakui negara Palestina.
Pernyataan bersama itu dikeluarkan saat bantuan yang diijinkan Israel masuk ke Gaza ternyata hanya berupa tetesan semata dibandingkan kebutuhan sebenarnya. Inggris, Prancis dan Kanada menggambarkan tindakan Israel “sepenuhnya tidak memadai”. Mereka menyerukan “kembalinya pengiriman bantuan sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan”.
Beberapa truk bantuan pertama memasuki Gaza pada hari Senin setelah hampir tiga bulan Israel memblokade makanan, obat-obatan dan pasokan lainnya, kata Israel dan PBB, ketika Israel mengakui meningkatnya tekanan dari sekutunya termasuk Amerika Serikat.
Lima truk yang membawa makanan bayi dan bantuan lain yang sangat dibutuhkan memasuki wilayah berpenduduk lebih dari 2 juta warga Palestina melalui penyeberangan Kerem Shalom, menurut badan pertahanan Israel yang bertugas mengoordinasikan bantuan ke Gaza, COGAT.
Kepala Kemanusiaan PBB, Tom Fletcher, menyebutnya sebagai “perkembangan yang disambut baik” namun menggambarkan truk-truk tersebut sebagai “setitik air dari apa yang sangat dibutuhkan.” Pakar keamanan pangan pekan lalu memperingatkan akan adanya kelaparan di Gaza. Selama gencatan senjata terbaru yang diakhiri Israel pada bulan Maret, sekitar 600 truk bantuan memasuki Gaza setiap hari.