Ini Tantangan Jokowi di Sektor Pangan dan Pertanian

Presiden terpilih Joko Widodo mulai beraktivitas menggunakan mobil dinas barunya dan pengawalan pasukan pengamanan Presiden di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (23/8). (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Rep: c73 Red: Mansyur Faqih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Politik, Pertanian dan Pembangunan Pedesaan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB, Arya Hadi Dharmawan mengatakan, ada empat hal yang menjadi tantangan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ke depan. Khususnya dalam hal pangan dan pertanian.


Pertama, persoalan filosofi dalam slogan Trisakti yang dikemukakan Jokowi-JK dalam visi-misinya saat kampanye. Di situ disebutkan, negara mandiri secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. 

Dalam hal ini, yang juga harus ditekankan adalah kedaulatan pangan. Bagaimana negara dapat memproduksi sendiri tanpa mengimpor dari negara lain.

Kedua, ujar dia, persoalan tantangan makro pertanian. Jokowi dalam visi-misinya berambisi membuka lahan seluas-luasnya untuk pertanian. Namun dikatakan, tidak mungkin membuat sawah dalam waktu lima tahun dengan luas jutaan hektare.

Dalam hal ini, persoalan kedaulatan pangan menghadapi kedaulatan agraria. Karena kemampuan nasional negara hanya sekitar 20 ribu hektare. 

Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan pangan. Namun di sisi lain juga ingin mengejar devisa. 

Itu terlihat dari upaya pemerintah memperluas perkebunan kelapa sawit yang banyak mencaplok lahan pertanian.

Ia menambahkan, 50 persen lebih taman nasional dicaplok untuk lahan perkebunan. Sementara, tiga juta hektare kelapa sawit dimiliki asing.

Ketiga, persoalan pangan yang sebenarnya. Yaitu, produksi pangan negara tidak cukup untuk memberi makan seluruh penduduk Indonesia. Walau pun impor menjadi langkah pragmatis.

Sebagai contoh, tiga per empat kedelai diimpor.  Sementara, hampir sebagian besar masyarakat memakan tahu dan tempe yang berbahan kedelai. 

Pada kenyataannya, itu kembali menguntungkan asing. Karenanya, Jokowi dihadapkan dapat memotong masalah tersebut.

Keempat, Arya mengatakan, Jokowi juga mendapat pekerjaan rumah dari pemerintahan sebelumnya. Yaitu dalam UU Nomor 41/2009 tentang proteksi lahan pangan berkelanjutan.

Pemerintah harus melindungi lahan untuk sawah, namun tidak menyengsarakan petani. Menurutnya, terdapat pasal yang menyebutkan pemberian insentif bagi petani yang mempertahankan sawahnya.

"Dari pada mensubsidi mobil mewah dengan BBM premium, kenapa tidak dialihkan kepada insentif petani agar tidak mengkonversi lahannya jadi non-pertanian," tutur Arya dalam Dialog Kenegaraan di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (27/8). 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler