Putusan MK Terkait Hak Legislasi DPD tak Terealisir Karena Persoalan Politis
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), M Mahfud MD menegaskan jika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai konstitusionalitas hak dan wewenang legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) tidak terealisasi, maka persoalannya bukan yuridis tapi politis.
Mantan Ketua MK itu juga mengatakan persoalan lain adalah psikopolitis, karena terjadi situasi di dalam fraksi partai-partai yang tingkat penerimaan (acceptance) atau tingkat penolakan (resistance) berbeda-beda terhadap putusan MK tersebut, sebagai salah satu sumber hukum setingkat undang-undang.
"Kalau yuridis, sudah selesai. Persoalan ini politis, psikopolitis juga. Putuan MK itu tafsir resmi konstitusi. Putusannya sama dengan sebuah UU. Begitu ditetapkan, putusannya masuk lembaran negara. Tidak perlu eksekutor. Langsung berlaku, mengikat," tegasnya.
"Tapi kalau politis, tergantung perkembangan situasi. Di luar kemampuan MK," jelasnya dalam rapat dengar pendapat umum (RPDU) Pansus RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/4).
Mahfud melanjutkan, amandemen kelima UUD 1945 yang sekaligus memperkuat DPD tidak realistis secara politis saat ini karena fraksi partai-partai masih menolak usulan DPD.
"Secara politis, tidak realistis gagasan amandemen yang diidealkan DPD dan sejumlah pakar/ahli. (Fraksi) partai-partai masih menolaknya. Bukan hanya DPD yang jadi isu pembahasan, tapi keseluruhannya," katanya.
"Perkembangan politik, apalagi akhir-akhir ini, semakin tak karuan. Sehingga, kita harus berpikir keras meluruskan kembali arah reformasi. Kecenderungannya lebih buruk," jelasnya.
Mantan Menkumham itu juga menegaskan, kisruh kewenangan antara DPR RI dan DPD bersumber pada hasil amandemen UUD 1945 yang distortif (terjadi pemutarbalikan, atau penyimpangan) sejumlah pasal, ayat, dan bagiannya.
Ia mencontohkan, misalnya mengenai kekuasaan membentuk undang-undang (UU). Dalam Pasal 20 UUD 1945 menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk UU, Pasal 5 UUD 1945 menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undangundang (RUU) kepada DPR.
Sementara 20 UUD 1945 menyatakan DPR dan Presiden membahas RUU untuk mendapat persetujuan bersama. Pasal 20 UUD 1945 tidak menyertakan DPD membahas RUU untuk mendapat persetujuan bersama karena selama pembahasan amandemen kesatu (perubahan kesatu) UUD 1945 belum muncul keinginan membentuk lembaga perwakilan di samping DPR.
Ia melanjutkan, keinginan membentuk DPD muncul kemudian selama pembahasan amandemen ketiga (perubahan ketiga) UUD 1945. Sayangnya, karena amandemen UUD 1945 bersifat adendum, maka amandemen ketiga tidak serta merta mengubah ketentuan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU (Pasal 20 UUD 1945) menjadi DPD bersama DPR memegang kekuasaan membentuk UU.
Adendum berarti penambahan dan pengurangan atau perubahan klausul pasal, ayat, dan bagian UUD 1945 yang mempertahankan naskah asli (Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959) dan naskah perubahan UUD 1945 melekat pada naskah aslinya.
Karena itu, penguatan fungsi, tugas, dan wewenang DPD muncul belakangan melalui amandemen kelima UUD 1945 sebagai usulan DPD. Alasannya, kalau DPD hanya dapat mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu, dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR maka pembentukan DPD terlalu mubazir. Tapi, (fraksi) partai-partai menolak penguatan DPD.
"Kita membentuk DPD kan tidak hanya untuk itu. Terlalu mubazir. Tapi (fraksi) partai-partai nggak mau. Di luar pandangan politik, dunia akademis mendukung penguatan DPD. Semuanya mendukung. Logikanya masuk," jelasnya.
Lalu, DPD mengajukan judicial review (uji materiil) untuk mendapat penafsiran konstitusionalitas fungsi, tugas, dan wewenang DPD terhadap pematerian UU karena hak dan/atau wewenang konstitusionalnya dirugikan.
Terbukti memang sejumlah UU menegasikan bahkan mereduksi konstitusionalitas hak dan/atau wewenang legislasi DPD. Jika tetap saja DPD tidak ikut membahas RUU tertentu maka DPD mengajukan judicial review (uji formiil). Jadi, judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri atas pengujian secara materiil (uji materiil) dan pengujian secara formil (uji formil).
"Kalau suatu saat ada RUU yang seharusnya ikut dibahas bersama, tapi DPR mengabaikan DPD, maka DPD bisa mengajukan gugatan judicial review (uji formiil). Kalau terbukti prosedurnya salah, batal semua UU itu. Mestinya ini warning bagi DPR," jelasnya.
Agar UU yang berlalu juga tidak distortif, dalam putusannya MK menyatakan, DPD ikut serta mengajukan RUU tertentu, membahas RUU tertentu, dan mengambil keputusan RUU tertentu kecuali persetujuan bersama.
"Inilah jalan tengah. MK kan penafsir konstitusi atau memberi tafsir baru agar konstitusi hidup. Tafsiran MK, DPD secara institusi sejajar DPR dan Presiden dalam membahas RUU tertentu. DPD tidak sejajar fraksi partai-partai," katanya lagi.