Zulkifli Tekankan Pentingnya Merawat Keberagaman
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menyampaikan pidato pembuka dalam Sidang Tahunan 2017 di Gedung Paripurna I, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/8). Dalam pidatonya, Ketua MPR mengingatkan kembali pentingnya merawat Keindonesiaan dan Keberagaman.
Sambutan diawali dengan ucapan terima kasih MPR kepada pemerintah dan seluruh lembaga tinggi negara atas kinerjanya menjaga demokrasi di Indonesia. Namun disadarinya perjalanan demokrasi tidaklah mudah, tidak sedikit pekerjaan yang belum berjalan, diantaranya kehidupan masyarakat yang tertinggal.
"Karena itu, sebagai pemimpin kita tidak boleh membiarkan Indonesia ini robek dan koyak. Kita tidak boleh membiarkan Pancasila dan UUD 1945 dicampakkan dan hanya menjadi Simbol. Pancasila adalah rujukan bersama," ungkap Zulkifli dihadapan presiden dan wakil presiden serta peserta sidang.
Perjalanan bangsa ini, kata dia, penuh perjuangan, mulai tumbuh dan dicabik kolonialisme hingga merdeka dan hadirnya Pancasila. Sebuah gagasan luar biasa dari para pemimpin terbesar bangsa Indonesia, setelah melalui berbagai penyempurnaan.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan presiden Soekarno menyatakan kembali ke UUD 1945. Tidak hanya itu, Bung Karno juga menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian satu kesatuan.
"Sejak saat itu, kita sebagai negara tak pernah mengutak-atik lagi tentang ideologi negara, falsafah negara, maupun ideologi negara Pancasila," ujar Ketua MPR.
"Kami percaya Pancasila dan UUD 1945 bukan palugada terhadap pihak yg tidak satu pandangan, tidak satu barisan dalam berindonesia," katanya menambahkan.
Sejak saat itulah, Pancasila & UUD 1945 adalah muara bersama dari beragam mata air. Selain itu, menurutnya para pendiri bangsa ini, telah menunjukkan teladan yang baik dalam berpolitik dan demokrasi.
Kisah persabatan Kasimo dan Natsir yang bersepeda bersama setelah debat sengit di parlemen. Dan juga persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta yang tetap hangat meski mereka berbeda pandangan tentang demokrasi.
Persahabatan TB Simatupang bersama Kasman dan Prawoto, bergerilya bersama hadapi agresi Belanda. Dan juga kisah Buya Hamka yang bergegas untuk mengimami solat jenazah Bung Karno, kendati telah dipenjarakan tanpa proses peradilan.
Ia menyadari saat ini bangsa Indoneaia sedang dihadapkan pada kondisi memprihatinkan. Ini akibat abai pada keteladanan para Bapak Bangsa tersebut.
"Kita kurang empati pada sesama anak-anak Bangsa. Selalu menganggap diri yang paling benar," kata Zulkifli.
Padahal, para Bapak Bangsa sudah contohkan perbedaan pendapat tak membuat hubungan pribadi merenggang. Karena itu kalau ada yang mengklaim sebagai Pancasilais dan menuduh yang lain tidak Pancasilais, menurut dia orang tersebut harus belajar lagi tentang sejarah Pancasila.