Sumbar Fokus Urai Sumbatan Sektor Agraria

Penyelesaian masalah agraria akan mengurangi masalah ketimpangan kepemilikan tanah.

Antara
Sertifikat Tanah
Rep: Sapto Andika Candra Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) menegaskan untuk segera mengurai sumbatan yang ada di sektor agraria. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno (IP) merinci ada enam ganjalan di sektor agraria yang masih buntu, yakni ketimpangan penguasaan dan kepemilikan atas tanah, alih fungsi lahan pertanian yang masif, serta sengketa dan konflik agraria seperti permasalahan batas dan sertifikat ganda.

Tiga poin lagi adalah kemiskinan dan pengangguran, turunnya kualitas lingkungan hidup, serta kesenjangan sosial. IP yang juga menjabat sebagai Ketua Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Sumbar menyebutkan, hambatan-hambatan di sektor agraria yang disebutkan di atas memiliki implikasi yang jauh terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Apalagi di Sumbar ini, sengkarut masalah agraria juga termasuk pembagian tanah adat dan lahan atas suku-suku yang ada di Tanah Minang.



"Masalah tanah masalah lama. Kita inventarisir dan kita selesaikan satu-satu. Kalau tidak, akan jadi bom waktu dan meledak sewaktu-waktu," kata IP, Rabu (5/7).

IP menyinggung bahwa tantangan dalam merampungkan pekerjaan rumah di sektor agraria tak bisa hanya mengandalkan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menurutnya, BPN yang bukan instansi vertikal membutuhkan dukungan dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengurai masalah agraria.

IP sendiri pernah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 21 tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. Namun seiring dengan implementasi beleid tersebut, ganjalan masih ditemukan di lapangan.

"Agar (aturan) berjalan, Bupati dan Walikota bikin juga peraturannya, agar memudahkan kerja gugus menyelesaikan masalah agraria yang ada," ujar IP.

Sementara itu, Direktur Land Reform Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Arif Pasha menyebutkan bahwa GTRA harus lebih berperan untuk mempercepat pencapaian target reforma agraria nasional seluas 9 juta hektare. Target tersebut terbagi ke dalam dua program, yakni legalisasi aset seluas 4,5 juta hektare, mencakup 3,9 juta hektare legalisasi aset dan 0,6 juta hektare tanah transmigrasi yang belum bersertifikat. Sedangkan program kedua adalah redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektare, mencakup Tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak diperpanjang dan tidak dimanfaatkan seluas 0,4 juta hektare dan pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektare.

"Ada saja sengketa dan konflik tanah, baik antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pengusaha, masyarakat dengan negara, masyarakat dengan BUMN, dan lain-lain. Kami harap, dalam prosesnya, konflik agraria seperti itu bisa dituntaskan di level gugus masing," katanya.

Arif mengingatkan Pemda untuk bisa bergerak cepat untuk memastikan dan memetakan posisi tanah pelepasan hutan yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta dapat segera menindaklanjuti Perpres 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

"Terutama ya menyangkut tanah yang berasal dari pelepasan hutan negara untuk TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dan atau hasil perubahan batas kawasan hutan," jelasnya.

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumbar Sudaryanto menambahkan, TORA di Sumbar pada 2019 ditingkatkan menjadi 58.254 hektare atau meningkat sebesar 7,23 persen dibanding TORA Sumbar pada 2018 seluas 54.315 hektare.

"Dengan demikian, TORA Sumbar total adalah sebesar 112.569 hektare," katanya.

Sudaryanto juga mengungkapkan bahwa Kota Solok adalah satu-satunya kabupaten/kota di Sumbar yang legalisasi aset agrarianya telah rampung 100 persen.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler