Perlukah Lembaga Pengawas untuk MK?
MK juga satu-satunya lembaga negara yang tanpa pengawasan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota MPR dari Kelompok DPD, Benny Ramdhany menilai perlu ada lembaga pengawas untuk Mahkamah Konstitusi (MK). MK adalah lembaga negara yang memiliki wewenang cukup besar, namun MK juga satu-satunya lembaga negara yang lemah pengawasan.
MK menjadi satu-satunya lembaga negara yang tidak diawasi dan memiliki alat kontrol (pengawasan) dari lembaga lain. “Ini cukup berbahaya. Karena tidak memiliki alat kontrol dan pengawasan, maka MK memiliki potensi besar untuk abuse of power,” kata dia dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema Batas Kewenangan MK dalam (Menafsir) Konstitusi, Jumat (21/9).
Benny Ramdhany memberi contoh akibat tidak adanya alat kontrol dan pengawasan terhadap MK munculah perkara yang melibatkan hakim MK. “Tidak adanya pengawasan itulah menjadi penyebab munculnya perkara hakim di MK termasuk kasus Patrialis Akbar dan Akil Mochtar,” katanya.
Padahal, menurut Benny Ramdhany, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pernah dibuat Perppu terkait MK. Perppu itu mengatur tentang rekrutmen hakim dan pengawasan oleh Komisi Yudisial. Namun, MK membatalkan Perppu itu. Akhirnya MK tidak diawasi lagi oleh Komisi Yudisial.
“Selain itu, DPR juga pernah merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Namun, MK juga membatalkan revisi UU tesebut. "Jadi, MK tidak mau dikontrol pihak lain,” sambungnya.
Walaupun MK sekarang memiliki Dewan Etik, lanjut Benny Ramdhany, namun pengawasan internal ini menyimpan banyak masalah sehingga tidak bekerja efektif. Problem terbesar Dewan Etik adalah karena lembaga ini dibentuk sendiri oleh MK berdasarkan peraturan MK.
Benny mengatakan para hakim MK (pimpinan MK) memegang peranan penting dalam proses pengangkatan anggota dan kerja Dewan Etik. Bahkan, para hakim MK bisa mempengaruhi tahap pembentukan Majelis Kehormatan yang akan mengadili dugaan pelanggaran etik hakim MK.
"Dengan demikian secara kelembagaan dan atmosfer bekerja, Dewan Etik akan menghadapi kendala-kendala yang muncul akibat relasi kuasa antara pimpinan MK dan Dewan Etik. Secara aturan dan kelembagaan, Dewan Etik berada di bawah kontrol MK, lembaga yang seharusnya diawasi,” kata anggota DPD dari Sulawesi Utara ini.
Menurut Benny, MK masih menjadi mekanisme nasional yang efektif untuk penegakan HAM dan rule of law. Tapi ada sejumlah catatan untuk bekal perbaikan di masa yang akan datang. Selain tidak adanya lembaga pengawas, ada persoalan lain di MK antara lain soal kewenangan absolut MK.
“Persoalan lainnya terkait dengan akuntabilitas dalam proses seleksi hakim dan terkait dengan manajemen perkara. Masalah-masalah ini yang menyebabkan potensi abuse (penyalahgunaan) bisa terjadi,” ujarnya.
Sementara itu pakar Hukum Tata Negara, Benny Sabdo juga mengungkapkan adanya potensi abuse of power MK itu. Kasus yang menimpa Akil Mochtar dan Patrialis Akbar menjadi bukti adanya potensi abuse of power tersebut.
“Putusan MK memang harus diikuti karena sifatnya final dan mengikat. Namun MK tidak selalu benar. Artinya, masih ada kasus di MK seperti Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Sehingga ada juga potensi abuse of power dari MK,” ujarnya.
Turut berbicara dalam diskusi yang diadakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerjasama dengan Biro Humas MPR adalah Pakar Hukum Tata Negara Benny Sabdo dan anggota MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu.