Wakil Ketua MPR : RUU Ketahanan Keluarga Harus Dicabut dari Prolegnas
Banyak pasal-pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga yang melanggar hak azasi manusia
JAKARTA-- Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menegaskan DPR harus segera memastikan pencabutan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
"Banyak pasal-pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga yang melanggar hak azasi manusia, sehingga perlu dipikirkan cara-cara konstitusional untuk mencabut RUU ini dari Prolegnas Prioritas 2020," tegas Lestari Moerdijat yang akrab disapa Rerie, kemarin.
Sebagaimana Rerie ungkapkan sebelumnya di berbagai Media (20/2), RUU Ketahanan Keluarga tidak perlu ada. “Karena terlalu masuk ke ruang privat," kata legislator Partai Nasdem itu.
Pandangan Rerie senada dengan para peserta diskusi RUU Ketahanan Keluarga yang dilaksanakan di rumah jabatannya selaku Wakil Ketua MPR, di Jakarta, Selasa (3/3). Diskusi dalam rangka mendengarkan aspirasi masyarakat itu dihadiri antara lain anggota Ombudsman Ninik Rahayu dan aktivis perempuan, Tunggal Pawestri.
Dalam diskusi tersebut, para peserta menilai bahwa RUU inisiatif anggota DPR itu perlu dikaji lebih mendalam, sebab sangat kontradiktif. Untuk itu, para perempuan harus bersatu, bergandeng tangan untuk bersuara bahwa RUU itu bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Ninik Rahayu, anggota Ombudsman, menegaskan bahwa lewat RUU tersebut, “Kita diajak mundur ke zaman Kartini. RUU ini produk hukum politik yang sangat eksklusif."
Tunggal Pawestri mengatakan semua pasal (146 pasal) dalam RUU tersebut bermasalah dan tidak relevan. "Naskah akademiknya juga kacau," tegasnya. Ujung-ujungnya, menurut Pawestri, akan muncul stigma bahwa kaum perempuan tidak kredibel dalam membina kehidupan rumah tangga.
Ia memberikan contoh ibu rumah tangga yang bekerja sebagai TKI di luar negeri dan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil. Mengacu draf pasal dan ayat dalam RUU tersebut, kata Pawestri, TKI tersebut bisa dimasukkan dalam katagori ibu yang tidak ideal dan tidak kapabel mengurus rumah tangga. "RUU yang seharusnya direncanakan untuk memperbaiki masalah, malah berlaku sebaliknya," katanya.
Ninik Rahayu menambahkan, hukum sebaiknya untuk kebaikan, bukan sebaliknya. Para peserta diskusi sepakat untuk bergandeng tangan guna mengevaluasi RUU dengan saksama. "Meskipun bendera politik kita berbeda, sebaiknya kita terus berkomunikasi agar kita tidak terus mundur ke belakang," tambah Ninik.*