RUU Ketahanan Keluarga Sejalan dengan HAM dalam UUDNRI 1945

RUU Ketahanan Keluarga ini sejalan dengan ketentuan HAM dalam pasal tersebut

MPR
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW). (MPR)
Red: Hiru Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA mengatakan  Rancangan Undang-Undangan (RUU) Ketahanan Keluarga justru sejalan dan dalam rangka melaksanakan sejumlah ketentuan HAM yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, sehingga perlu didukung bersama-sama. 


Hidayat merujuk kepada Pasal 28B UUD NRI 1945 yang berbunyi bahwa (1) setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dan (2) setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 

“Bila dibaca isinya secara seksama, maka RUU Ketahanan Keluarga ini sejalan dengan ketentuan HAM dalam pasal tersebut. RUU ini ingin melindungi institusi keluarga, perkawinan sah, dan keselamatan anggota keluarga(suami, istri, anak2 dan lainya)”. ujarnya dalam keterangan tertulisnya Kamis (12/3). 

Hidayat menuturkan hingga saat ini belum ada UU yang mengatur secara spesifik mengenai keluarga padahal eksistensi lembaga keluarga sangat dipentingkan dlm sistem sosial dan budaya Indonesia.

RUU Ketahanan Keluarga ini sangat dibutuhkan untuk menghilangkan hambatan dan halangan terhadap eksistensi keluarga di Indonesia dengan berbagai permasalahannya, seperti tak harmonisnya keluarga, banyaknya perceraian, anak yang terkena narkoba, dan tindakan kriminal yang dilakukan di dalam keluarga dll. 

Lebih lanjut, Hidayat mengkritik pihak-pihak yang terburu-buru menuduh bahwa RUU Ketahanan Keluarga ini melanggar hak asasi manusia. Justru RUU yg  merujuk kpd Pancasila, krnnya RUU ini diusulkan unt melaksanakan ketentuan ttg HAM sbgmn diatur dlm UUD NRI 1945 psl 28B.

Ia juga menjelaskan, dalam diskursus tentang HAM, selain prinsip universalitas (dimana beberapa prinsip utama berlaku umum), tetapi ada juga aspek lokalitas yang perlu diperhatikan. Aspek lokalitas ini merujuk kepada nilai-nilai yang hidup di suatu masyarakat, sehingga “penjajahan” suatu nilai tertentu ke suatu masyarakat atau yang disebut sebagai human rights imperialism tidak terjadi. 

“Beberapa larangan dalam RUU itu, seperti larangan menjual sperma atau menyewakan rahim dibuat karena melihat aspek lokalitas, yakni norma-norma agama yang berlaku di masyarakat sebagai hukum yang hidup (the living law) di masyarakat. Krn yg diakui oleh masyarakat dan negara adalah perkawinan yang sah, bukan melalui jual beli sperma atau penyewaan rahim” jelasnya. 

Salah Paham

Selain itu, Anggota Komisi VIII DPR RI ini menuturkan ada pula kesalahpahaman terkait dengan RUU ini, se-olah2 misoginis dan mendomestikasi peran perempuan. Itu tidak benar. Sebab RUU ini justru hadirkan pengaturan yg lebih eksplisit bukan hanya Istri yg berperan dlm rumah tangga, tapi Suami juga. 

Dinyatakan dalam pasal 24 RUU KK bhw Suami dan Istri mempunyai hak yg seimbang didalam mengatur kehidupan keluarga. Dan psl 28 ; Suami dan Istri yg mempunyai anak, secara bersama-sama bertanggung jawab dlm mendidik anak dan menjadi tauladan bagi Anak2. 

Aturannya justru memberikan hak dan mewajiban yg seimbang/setara antara Suami dalam mengurus dan bertanggung jawab thd Keluarga. Dan sebenarnya induk dari norma terkait dengan tugas atau kewajiban suami dan istri tersebut merupakan norma yang prinsipnya sudah berlaku sejak 1974, yakni sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974, hingga sekarang. “Dan selama ini tidak ada masalah terkait itu,” ujarnya. 

Tuduhan adanya upaya domestikasi perempuan bahwa perempuan harus selalu di rumah juga tidak tepat. Ia menuturkan justru RUU Ketahanan Keluarga ini mengatur ttg adanya jaminan yang lebih kepada istri atau perempuan yang bekerja atau berkarier di kantor, yakni dengan meningkatkan hak terkait cuti hamil, cuti menyusui dan sebagainya. “RUU ini justru untuk menghormati,melindungi dan memenuhi hak2 perempuan/Istri/Ibu yang bekerja. Itu jelas diatur dlm psl 29 ayat 1 RUU KK” katanya. 

Karena tuduhan dengan RUU ini Negara terlalu mencampuri ranah pribadi, juga terbukti tidak benar. RUU itu justru mewajibkan Negara unt laksanakan kewajibannya thd Rakyat Indonesia dg laksanakan UUDNRI 1945, Negara tidak diberi karpet merah unt intervensi, tapi diberi payung hukum unt fasilitasi realisasi dari HAM terkait Keluarga dan yg terkait dgnya.  Maka 

“Sebaiknya mereka yang menolak,  membaca RUU Ketahanan Keluarga ini dahulu secara utuh, agar tercipta diskursus yg konstruktif unt suksesnya keluarga Indonesia. Tapi apapun, krn RUU ini masih dlm tahap pembahasan, maka kritik,masukan, perbaikan dll unt sempurnakan RUU ini, tentu sangat diharapkan dan diperhatikan”Hidayat.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler