Perlu Pendidikan Politik untuk Tekan Dampak Praktik Oligarki
Rendahnya pemahaman politik membuat praktik oligarki tidak hilang dari perpolitikan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlu pendidikan politik terhadap masyarakat untuk meningkatkan pemahaman publik terhadap proses politik dan dampaknya, untuk menekan praktik oligarki dalam kontestasi politik.
"Karena kurangnya pemahaman masyarakat akan kebutuhan pemimpin yang tepat, seringkali masyarakat dipengaruhi oleh kekuatan segelintir orang yang mengarahkan pilihannya pada calon tertentu dalam satu proses kontestasi politik," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam diskusi daring bertema Oligarki dan HAM: Konsep dan Praktiknya di Indonesia, yang digelar Komnas HAM, Senin (7/9). Selain Lestari, hadir sebagai narasumber Ahmad Taufan Damanik (Ketua Komnas HAM), Amiruddin (Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM) Khoirunnisa Nur Agustyati (Direktur Eksekutif Perludem), dan Burhanuddin Muhtadi (Direktur Eksekutif Indikator Politik).
Menurut Lestari, dalam kontestasi politik di Indonesia sudah ada sejumlah aturan yang menjamin kesamaan hak warga negara untuk memilih dan dipilih dalam proses pemilihan umum. Peraturan tersebut antara lain tertuang dalam UUD 1945 , pasal 28D ayat (3) yang menyebutkan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Jadi, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, berdasarkan aturan yang ada seharusnya tidak ada lagi disparitas dalam bentuk SARA, yang seringkali mengemuka dalam proses kontestasi politik."Hak dipilih dan memilih warga negara dibuka seluas-luasnya oleh undang-undang yang ada saat ini," ujar Rerie.
Meski begitu, menurut Legislator Partai NasDem itu, dengan kondisi pemahaman masyarakat yang sangat terbatas dalam masalah politik dan kepemimpinan bangsa saat ini, praktik oligarki tidak akan pernah pergi dari sistem perpolitikan Indonesia.
Berdasarkan kondisi tersebut, tambah Rerie, selain proses pendidikan politik masyarakat harus ditingkatkan, persyaratan para kandidat pemimpin di tingkat daerah dan nasional perlu dilengkapi agar proses seleksi kandidat dalam kontestasi sebagai pemimipin di daerah dan nasional menghasilkan pemimpin yang memiliki kompetensi yang memadai.
"Kita tidak bisa menyalahkan partai politik saja dalam konteks munculnya praktik oligarki dalam kontestasi politik. Kita harus lihat dari sudut pandang yang lebih komperhensif bahwa proses kontestasi politik di Indonesia juga dipengaruhi aspek sosialkultural," ujar Rerie.
Karena itu, tambahnya, untuk mencari solusi agar pelaksanaan kontestasi politik di Tanah Air lebih demokratis jangan hanya menemukan kesalahan semata dari sistem yang ada. Lebih dari itu, tegas Rerie, harus secara bersama segera mencari solusi untuk membenahi sistem politik saat ini.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ahmad Taufan Damanik menegaskan hak dipilih dan memilih juga sudah ada dalam UU Hak Azasi Manusia dan pemilu merupakan bagian mekanisme pemenuhan hak azasi manusia.
Hak dipilih dan memilih setiap warga negara, menurut Ahmad, merupakan bagian dari equality of right.
Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanudin Muhtadi memuji Komnas HAM yang ikut mengkaji soal isu pilkada. "Ini terobosan. Pilkada merupakan bagian politik elektoral yang sangat berkaitan dengan hak-hak masyarakat," ujarnya