HNW Serap Aspirasi dari Aisyiyah
Salah satu aspirasi Aisyiyah menyangkut pengesahan UU Cipta Kerja.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, bertemu Pimpinan Aisyiyah Jakarta Pusat dalam acara “Serap Aspirasi”. Acara tersebut berlangsung secara virtual pada Rabu (14/10). Pada kesempatan tersebut Hidayat memperoleh banyak aspirasi yang disampaikan kalangan ibu. Salah satunya menyangkut pengesahan UU Cipta Kerja.
Salah seorang Pimpinan Daerah Aisyiyah Jakarta Pusat Hj. Syamsidar Siregar secara virtual memberi apresiasi atas sikap Wakil Ketua MPR yang secara tegas menolak pemberlakuan UU Ciptaker. Syamsidar Siregar menilai, sikap tersebut patut dihargai, karena UU Ciptaker dinilai sebagai produk perundangan yang bermasalah dan merugikan masyarakat.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada FPKS yang telah menolak Omnibus Law RUU Ciptaker di DPR,” kata Syamsidar secara daring.
Syamsidar berharap, selain menolak Omnibus Law RUU Ciptaker, HNW bersama FPKS, ikut mengawal keberatan dan penolakan sejumlah kalangan selain Aisyiyah dan Muhmmadiyah seperti mahasiswa dan buruh, yang disampaikan melalui demonstrasi secara damai. Ia juga berharap tidak ada lagi kekerasan yang terjadi saat penyampaian aspirasi melalui demonstrasi penolakan RUU Ciptaker itu, dan meminta agar segera diusut tuntas oknum yang melakukan kekerasan.
Merespons aspirasi yang disampaikan Pimpinan Aisyiyah Jakarta Pusat, Hidayat Nur Wahid menyampaikan terima kasih. Pada kesempatan tersebut Hidayat mohon doa, agar diberi kekuatan oleh Allah untuk memikul tanggung jawab yang diembannya. Pada kesempatan itu, HNW juga menyanggupi untuk melaksanakan aspirasi warga, khususnya tetap istiqamah mengawal UU Ciptaker.
Menurut Hidayat, pihaknya menolak RUU Ciptaker karena konsep awalnya mengandung banyak kemudharatan. Selain itu pada draf awal, ada banyak konten yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Seperti, ketentuan Pasal 170, atau ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan Putusan MK, sekalipun ada yang bisa dikoreksi, tetapi tetap saja banyak masalah dalam RUU tersebut.
Termasuk ketidak pastian hukum akibat banyaknya pasal yang menyerahkan sepenuhnya pengaturan kepada aturan turunan, seperti Peraturan Pemerintah (PP), sehingga menimbulkan masalah hierarki. Dan aturan itu sampai sekarang tidak jelas bagaimana bunyinya. Dengan demikian maka tujuan awal untuk menyederhanakan aturan perundangan malah menjadi rumit, malah menghadirkan ketidaksederhanaan aturan hukum.
Belum lagi, lanjut HNW, pembahasan dan pengesahannya yang terburu-buru dikhawatirkan banyak ketentuan yang diputuskan dengan cara yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat maupun kesesuaian dengan aturan hukum yang ada. Proses pengesahannya pun menimbulkan tanda tanya besar karena tidak sesuai dengan Tatib DPR, sejak di tingkat I dengan tidak dibacakannya draft akhir yang disepakati dan diparaf pada setiap lembarnya, dan juga dalam proses persetujuan RUU itu di tingkat II atau rapat paripurna.
HNW juga melihat beberapa persoalan lain, seperti dari sisi pengagendaan rapat paripurna yang awalnya diagendakan pada 8 Oktober 2020, lalu dimajukan menjadi pada 5 Oktober 2020. Lalu, ada perubahan jumlah halaman final RUU setelah persetujuan di rapat paripurna, dari 905 halaman menjadi 812 halaman, dengan berbagai penambahan frasa dan ketentuan hukum baru.
“Jadi sangat wajar, UU yang kontroversial ini perlu terus dikritisi. Bahkan karena banyaknya masalah dan penolakan publik, agar dimintakan kepada Presiden Jokowi untuk terbitkan Perppu guna mencabut UU Ciptater tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan penolakan FPKS terhadap RUU Ciptaker, merupakan aspirasi dari umat yang telah disampaikan oleh ormas-ormas Islam. Seperti, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah (dan tentunya Aisyiyah juga), Nahdlatul Ulama, Konggres Umat Islam ke VII, dan Serikat-Serikat Pekerja.
“Ini sesungguhnya juga aspirasi perjuangan banyak Ormas, yang kami sampaikan dan perjuangkan di DPR,” tukasnya.
Selain itu, HNW juga sepakat dengan aspirasi mereka soal perlu adanya pengusutan terhadap kekerasan yang terjadi dalam demonstrasi penolakan RUU Ciptaker itu. “Beragam tindakan anarkis dan kekerasan, termasuk yang dialami oleh tenaga medis Muhammadiyah dan juga penangkapan sejumlah aktivis itu memang harus dikritisi, dikoreksi, dan tak boleh diulangi lagi. Pengusutan terhadap mereka yang melakukan tindakan anarki dengan pelemparan batu, pembakaran fasilitas-fasilitas umum, perlu juga diusut tegas dan tuntas,” tukasnya.