Perludem: Intensitas dan Pelanggaran Kampanye Meningkat

Kampanye terbuka atau pertemuan langsung makin intensif dan diminati.

Republika/Iman Firmansyah
Titi Anggraini
Rep: Mimi Kartika Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, intensitas kampanye akan makin meningkat saat mendekati masa tenang. Peningkatan kegiatan kampanye berpotensi mengakibatkan tingginya pelanggaran, baik klasik maupun protokol kesehatan pencegahan Covid-19.


"Ini bisa memicu, menggoda calon atau tim kampanye atau simpatisan melakukan pelanggaran, baik pelanggaran yang klasik seperti pelanggaran jadwal kampanye, politik uang, dan seterusnya, maupun pelanggaran terhadap protokol kesehatan," ujar Titi dalam diskusi daring, Rabu (21/10).

Menurut dia, hal itu terjadi karena situasi kompetisi makin memanas dan waktu untuk meyakinkan pemilih (kampanye, red) segera berakhir. Terutama yang harus diwaspadai ialah daerah-daerah dengan pilkada yang hanya diikuti dua pasangan calon atau head to head, karena iklim kompetisinya lebih ketat.

Dengan demikian, kata Titi, klaim-klaim dari pemerintah terkait penurunan angka kasus pandemi Covid-19 di daerah yang menggelar pilkada, tidak kemudian membuat para pihak terlalu percaya diri. Temuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) selama pelaksanaan kampanye perlu menjadi pertimbangan.

Titi menuturkan, catatan Bawaslu pada 10 hari kedua masa kampanye menunjukkan, kampanye terbuka atau pertemuan langsung makin intensif dan diminati, dibandingkan data 10 hari pertama kampanye. Hal itu dibarengi juga dengan peningkatan pelanggaran dan jumlah orang yang terlibat.

"Ini yang membuat semua pihak tidak bisa kemudian melihatnya secara sempit bahwa langsung pada konklusi pilkada membuat pandemi menurun," kata Titi.

Dia menyebutkan, masa kampanye masih berlangsung sampai 5 Desember 2020 mendatang. Tiga hari kemudian yakni 6-8 Desember memasuki masa tenang, di mana peserta pilkada dilarang melakukan kegiatan kampanye hingga hari pemungutan suara pada 9 Desember 2020.

"Masih ada 40 hari lebih lagi, di mana makin mendekati hari pemungutan suara, maka intensitas kompetisi semakin sengit dan potensi terjadi pelanggaran bisa semakin besar," tutur Titi.

Dia merekomendasikan, agar semua pemangku kepentingan pilkada membangun sinergitas dalam menegakkan hukum pemilihan, terutama ketentuan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Menurut Titi, ada disparitas antara narasi pemerintah pusat yang menyatakan semua terkendali dan kenyataan penindakan di lapangan

Sebab, lanjut Titi, pernyataan Ketua Bawaslu RI, Abhan, justru mengakui jajarannya di daerah kesulitan menegakkan hukum atas pelanggaran protokol kesehatan, terutama daerah yang pejawatnya maju kembali. Bawaslu hanya memberikan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis kepada pelanggar dan rekomendasi pembubaran kegiatan kampanye.

Pembubaran kegiatan pun perlu dilakukan bersama antara Bawaslu, kepolisian, Satpol PP, dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di daerah. Sementara, penegakan tindak pidana yang diatur di luar undang-undang (UU) pemilihan seperti UU Wabah Penyakit Menular dan Karantina Kesehatan menjadi ranah kepolisian untuk menindak, Bawaslu hanya sebatas meneruskan laporan pelanggaran pidana tersebut.

"Nah di sini yang kadang-kadang muncul ketidaksamaan persepsi atau kemudian perbedaan penafsiran, seolah-olah bahwa penanganan pelanggaran terhadap protokol kesehatan itu semata-mata menjadi domainnya Bawaslu atau penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu," kata Titi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler