Bawaslu: Paslon Takut Didiskualifikasi daripada Sanksi Pidan

Paslon atau tim kampanye juga kerap melakukan kampanye di tempat yang dilarang.

Prayogi/Republika
Ketua Bawaslu Abhan.
Rep: Mimi Kartika Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Abhan, mengeklaim, penjatuhan sanksi administrasi lebih efektif dibandingkan sanksi pidana. Menurut dia, pasangan calon (paslon) lebih takut didiskualifikasi daripada sanksi pidana.


"Paslon lebih takut dengan sanksi administratif terutama didiskualifikasi itu sanksi yang paling ditakuti daripada sanksi pada pidana," ujar Abhan dikutip situs resmi Bawaslu RI, Rabu (4/11).

Namun, dia tidak menampik, sejumlah dugaan pelanggaran pidana sering terjadi dalam pemilihan umum (pemilu), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada). Tindak pidana pemilihan yang sering terjadi, antara lain, dukungan palsu dalam pengajuan syarat pencalonan jalur perseorangan.

Selanjutnya, peserta pilkada memalsukan dokumen atau keterangan sebagai syarat pencalonan dan calon. Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga kepala desa melakukan perbuatan menguntungkan paslon.

Abhan melanjutkan, pelanggaran pidana lainnya dilakukan dengan menyoblos lebih dari satu kali. Paslon atau tim kampanye juga kerap melakukan kampanye di tempat yang dilarang seperti rumah ibadah atau tempat pendidikan.

"Pidana lainnya yaitu soal politik uang atau mahar politik, penyalahgunaan fasilitas dan anggaran pemerintah untuk kampanye," tutur dia.

Dia mengatakan, di beberapa daerah ada dugaan pelanggaran ketentuan Pasal 71 ayat 3 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 terkait penyalahgunaan wewenang. Misalnya, paslon atau partai politik tertentu menyalahgunakan bansos (bantuan sosial) penanganan pandemi Covid-19 untuk kepentingan kampanye.

Menurut Abhan, bansos yang diberikan kepada masyarakat terdapat gambar atau simbol paslon, bukan logo pemerintahan. Padahal, bantuan tersebut berasal dari anggaran negara atau daerah.

Selain itu, lanjut Abhan, pelanggaran pidana yang perlu diantisipasi terkait tindakan mengubah perolehan suara tidak sesuai prosedur. "Adanya potensi mengubah hasil perolehan suara tidak sesuai dengan prosedur," kata dia.

Dia menambahkan, ada banyak norma yang mengatur tindak pidana pemilihan yaitu sebanyak 68 norma dan diatur dalam 43 pasal.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler