Bawaslu: Partisipasi Masyarakat Laporkan Politik Uang Tinggi

Sebanyak 197 dari 262 kasus politik uang di antaranya merupakan laporan masyarakat.

Republika/Iman Firmansyah
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalo.
Rep: Mimi Kartika Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, tingkat partisipasi masyarakat melaporkan dugaan politik uang dalam Pilkada 2020 tergolong tinggi. Dari 262 kasus dugaan politik uang yang telah sampai pengkajian dan penyidikan, 197 kasus di antaranya merupakan laporan masyarakat dan 65 kasus ialah temuan Bawaslu per 17 Desember 2020.

"Ternyata politik uang lebih banyak laporan dari pada temuan. Hal itu berarti dorongan kita, program kita, upaya kita, ikhtiar kita untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kasus ini sudah  berhasil," ujar Dewi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/12).

Dewi menuturkan, sudah ada enam putusan pengadilan yang menyatakan pelaku tindak pidana politik uang bersalah. Putusan itu tersebar di sejumlah wilayah antara lain Kota Tarakan, Kalimantan Utara; Kabupaten Berau, Kalimantan Timur; Kota Palu, Sulawesi Tengah; Kota Tangerang Selatan, Banten; dan Kota Cianjur, Jawa Barat.

Pelaku politik uang tersebut masing-masing mendapatkan vonis kurungan penjara 36 bulan dan denda Rp 200 juta. Kecuali pelaku politik uang di Kabupaten Pelalawan Riau yang dihukum enam bulan percobaan dan denda Rp 200 juta.

"Ini satu hal yang baik dalam proses penanganan pelanggaran mudah-mudahan dapat memberi efek jera," kata Dewi.

Menurut Dewi, politik uang kerap dilakukan di ruang tertutup yang tidak mudah terdeteksi oleh jajaran Bawaslu. Dengan demikian, ia menilai pentingnya partisipasi masyarakat atau si penerima untuk melaporkan pelanggaran pemilihan ini.

Ia mengakui, sempat meragukan masyarakat akan berpartisipasi untuk melaporkan dugaan politik uang. Sebab, dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait politik uang, si pemberi dan penerima sama-sama akan mendapatkan sanksi.

"Angka pelaporan yang jauh lebih besar dari angka temuan kita ini harus dicatat secara baik dan menjadi temuan penting, bagaimana kita mendesain partisipasi masyarakat untuk melaporkan politik uang kedepannya," tutur Dewi.

Undang-Undang Pilkada yang mengatur tentang larangan dan sanksi politik uang tercantum dalam Pasal 187A. Dalam ayat 1 disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Sementara ayat 2 menyatakan, pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat 1.


Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler