REPUBLIKA.CO.ID, Membuat perencanaan keuangan merupakan salah satu langkah penting untuk menjamin pengelolaan keuangan lebih sehat dan masa depan yang lebih baik. Perencanaan keuangan yang baik akan mampu mencukupi berbagai kebutuhan mulai dari kebutuhan sekarang hingga masa depan.
Ada beberapa skema pengelolaan anggaran yang bisa diterapkan, salah satunya skema 40/30/20/10. Rinciannya adalah, 40 persen untuk alokasi kebutuhan prioritas, 30 persen alokasi dana wajib atau cicilan, 20 persen alokasi investasi, dan 10 persen alokasi sosial seperti zakat, pajak dan donasi. Sayangnya alokasi dana sosial tersebut, khususnya donasi, seringkali luput dari daftar perencanaan keuangan.
Perencana Keuangan Ahmad Gozali menjelaskan bahwa mengalokasikan dana sosial khususnya donasi adalah suatu keharusan. Dia menyarankan setiap orang menyisihkan 10 persen dari penghasilan setiap bulan untuk dana sosial mulai dari donasi, zakat dan sedekah atau bentuk lainnya. Apalagi merujuk pada ajaran agama Islam, memberikan donasi ataupun zakat sangat dianjurkan baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
“Jadi semisal masih ada yang memerlukan bantuan padahal dana sosial sudah tersalurkan semua, dengan kata lain dalam kondisi sempit, maka kita harus berkorban. Inilah intinya berdonasi, bukan hanya berbagi, tapi berkorban,” kata Ahmad saat dihubungi Republika beberapa waktu lalu.
Menurut Ahmad, ada beragam cara untuk menggeser alokasi diri sendiri menjadi untuk donasi. Salah satunya dengan memangkas jatah makan siang, mengurangi belanja barang yang tidak dibutuhkan, mengubah rencana liburan agar lebih hemat, dan penghematan-penghematan lain.
“Dalam kondisi seperti itulah kita akan merasakan kepuasan batin yang lebih dalam berdonasi,” ungkap Ahmad.
Adalah Elsanasanti Saptarina, seorang karyawan di Pos Indonesia, yang selama 1,5 tahun ini mulai rutin menganggarkan untuk dana sosial setiap bulannya. Menurut Elsa, biasanya dia mengalokasikan 2,5 persen dari total penghasilannya untuk dana sosial dalam bentuk donasi, zakat maupun sedekah.
Adapun untuk penyalurannya, Elsa mengaku lebih sering menyalurkan secara daring ke beberapa lembaga filantropi terpercaya seperti Rumah Zakat, Rumah Yatim, ataupun Dompet Dhuafa. Elsa menilai, penyaluran dana sosial secara online lebih praktis dan tidak ribet.
“Biasanya donasi sebulan sekali, 2,5 persen dari gaji, lemburan, pokoknya total penghasilan. Kalau penyalurannya sendiri aku suka random sih, kadang nyalurin di bidang kesehatan, sosial atau pendidikan,” kata Elsa.
Meski demikian, sesekali ia juga sering menyalurkan dana sosial secara langsung dengan mendatangi Yayasan dekat tempat tinggalnya, atau langsung diberikan kepada orang yang membutuhkan bantuan. Menurut dia, penyaluran dana sosial secara offline juga penting untuk bisa merasakan langsung atmosfer dari para penerima bantuan atau lokasi bencana.
Elsa mengungkapkan, biasanya dia menyalurkan dana sosial di awal bulan antara tanggal 1 hingga 10 setiap bulannya. Itu dilakukan agar dana yang tadinya dialokasikan untuk dana sosial bisa benar-benar tersalurkan, tidak terpakai untuk kebutuhan lainnya. “Saya juga tidak pernah merasa terbebani kalau donasi di awal bulan tanggal 1-10. Awal bulan dikeluarkan dulu zakatnya, biar enggak menghalangi rezeki,” kata Elsa.
Selama mulai merutinkan berdonasi, Elsa mengaku tidak pernah merasa kekurangan uang. Bahkan semisal ada permintaan donasi di tanggal tua pun, menurut dia, selalu saja ada rezeki yang bisa dia pakai untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan.
“Alhamdulillah tidak pernah sampai merasakan dana tipis saat mau berdonasi atau karena dipakai donasi, ya selalu saja ada aja rezekinya. Mungkin itu gimana manajemen keuangan masing-masing ya,” jelas Elsa.
Perencanaan keuangan untuk donasi sosial juga di terapkan oleh Yayan Rahtikawati sejak lama. Terlebih, zakat, infak dan sedekah juga telah diperintahkan oleh Islam sebagai bagian dari pengelolaan harta setiap umat. Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung tersebut mengaku selalu mengalokasikan minimal 2,5 persen hingga lebih dari 10 persen dari penghasilannya untuk dana sosial baik itu donasi, zakat maupun sedekah.
Yayan sendiri, jarang sekali melakukan donasi daring dan lebih sering memberikan donasi secara langsung. Biasanya dia memberikan sumbangan kepada para junior di organisasi, anak yatim binaan, dana pendidikan, serta masyarakat kurang mampu.
“Saya mencanangkan 2,5 persen minimal. Tetapi karena saya aktifis, jika ada yang datang minta bantuan, atau jika ada pertemuan para aktifis di rumah itu ada pengeluaran lagi. Saya juga aktif membina pengajian ibu-ibu dan kegiatan tersebut ada donasi untuk anak yatim dan orang miskin. Jadi sebetulnya tidak terprogram berapa banyak pengeluaran donasi setiap bulannya, alamiah dan mengalir saja. Tapi biasanya lebih dari 2,5 persen,” kata perempuan yang aktif di Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) tersebut.
Sebagai seorang ibu, Yayan juga sudah mengajarkan anak-anaknya untuk mengalokasikan dana sosial dari penghasilannya setiap bulan. Sebab menurut dia, hal itu adalah pelajaran penting sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih peduli terhadap sesama. Selain itu, sebagai seorang dosen, Yayan juga selalu menyelipkan pelajaran untuk selalu berbagai kepada para mahasiswanya.
“Kepada anak-anak yang sudah mempunyai penghasilan diwajibkan membayar uang SPP anak yatim yang kebetulan kami adopsi, jadi anak-anak mempunyai tanggungan anak asuh. Tentu sesuai dengan kemampuan mereka, yang pasti ibu sudah mendorong mereka untuk berbagi dan peduli terhadap mereka yang membutuhkan,” kata Yayan.