REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama pandemi Covid-19 saat ini, permintaan obat penenang dan obat tidur di Amerika Serikat (AS) dilaporkan melonjak. Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa banyak orang yang merasa cemas mengenai situasi yang terjadi serta kapan semua ini akan berakhir.
Dilansir Fox News, manajemen farmasi Express Scripts melaporkan kenaikan permintaan paling tajam terjadi pada resep obat-obat antikecemasan, yakni hingga 34,1 persen, dari pertengahan Februari hingga Maret. Sementara itu, mulai dari 16 Februari hingga 15 Maret lalu, resep untuk obat antidepresan naik sebanyak 18,6 persen, sementara obat tidur sebanyak 14,8 persen.
"Analisis menunjukkan bahwa banyak orang Amerika yang butuh obat untuk meredakan kecemasannya, menunjukkan dampak serius Covid-19 terhadap kesehatan mental,” ujar pernyataan Express Scripts.
Virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan penyakit Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Sejak saat itu, virus terus menyebar secara global.
Tercatat hingga Senin (20/4) pagi terdapat 2.407.439 kasus Covd-19 dan 165.073 kematian di seluruh dunia. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan wabah SARS pada 2002-2003 yang disebabkan oleh virus serupa secara genetis. Sementara, jumlah pasien yang dinyatakan sembuh adalah 625.202 orang.
Bagi kebanyakan orang, Covid-19 hanya menimbulkan gejala ringan atau sedang, seperti demam dan batuk. Tetapi, sebagian lainnya, terutama orang dewasa yang lebih tua dan orang-orang dengan masalah kesehatan yang telah ada sebelumnya, infeksi virus dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah, termasuk pneumonia, bahkan kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menghadapi kritik secara luas karena dianggap gagal mengenali ancaman virus selama masa penyebarannya. Lembaga itu juga dituding terlibat dalam upaya menutupi informasi tentang kasus Covid-19 sejak awal yang dilakukan Pemerintah Cina.
Presiden AS Donald Trump pekan lalu mengumumkan bahwa negaranya akan menghentikan pendanaan untuk WHO. Ia mengatakan badan tersebut telah menempatkan "kebenaran politik di atas tindakan untuk menyelamatkan nyawa".