REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Anif Punto Utomo, Jurnalis Senior/Mantan Jurnalis Republika
Larry, pria berperawakan sedang berumur 43 tahun itu berjalan gontai. Hoodie coklat yang dikenakan terlihat basah oleh keringat, masker ungu tua setia menutup mulut dan hidungnya. Tas rangsel hitam tergendong di punggung, sandal jepit kusam mengalasi kakinya yang begitu berat melangkah.
Sebatas itu tidak ada yang istimewa. Namun menjadi mengenaskan manakala membaca tulisan tangan di lembar karton yang disampirkan di dadanya: Berkah dalem, maaf saya Frans Larry O ingin jual ginjal untuk nafkahi keluarga saya, melunasi hutang, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, makan agar keluarga saya tak diremehkan. Maaf saya bukan mengemis'.
Deg! Hati siapa yang tidak tergetar membaca keterusterangan itu. Frans Larry Oktavianus, begitu nama lengkap dari pria itu tinggal di Klaten dengan satu istri, dua anak. Ia dirumahkan dari pekerjaan sebagai pencuci mobil di Yogyakarta. Sabtu 2 Mei 2020 lalu, Larry berjalan kaki dari Klaten menuju Semarang, bertekad menemui Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranonowo, untuk mengadukan nasibnya. Berjalan sambil menawarkan ginjalnya.
Larry seolah membuka tabir tentang fenomena kemiskinan baru sebagai akibat wabah Corona. Ya, Corona yang mulai mengusik kehidupan manusia akhir 2019 lalu, telah merontokkan perekonomian dunia. Indonesia tak terkecuali. Aktivitas bisnis berhenti di hampir semua sektor. Kabar pekerja di-PHK atau dirumahkan menjadi berita sehari-hari.
Sampai April silam, tercatat 1,5 juta pegawai di-PHK. Itu yang dilaporkan, ada ratusan bahkan ribuan usaha kecil-menengah yang juga mem-PHK atau merumahkan karyawan tanpa lapor. Lihatlah karyawan café atau restoran, pekerja toko, karyawan travel, pekerja warung, karyawan hotel, dan masih banyak lagi. Jumlahnya bisa tiga kali lipat yang resmi. Sungguh, semua PHK dadakan.
Mereka yang tadinya masuk kelompok kelas menengah (versi Bank Dunia dengan pengeluaran Rp 1,2 juta-Rp 6 juta per bulan) langsung terjun jadi kelompok miskin karena sama sekali tak berpenghasilan. Mereka inilah yang oleh Wapres Ma’ruf Amin dikategorikan Misbar (miskin baru). Misbar karena Corona. Menjadi ironi ketika ada pembagian sembako, mereka tidak masuk daftar karena dipandang mampu, padahal mereka juga tak punya beras untuk dimasak.
Ada cerita, dalam sebuah WA Grup kelas menengah, seseorang memposting akan memberikan paket sembako, dan bagi yang membutuhkan silakan membuat daftar di grup. Sepi respon. Mungkin gengsi. Begitu diposting : bagi yang membutuhkan bisa ‘japri’, langsung banyak yang ‘japri’. Alasannya hampir sama, tidak ada pendapatan, sementara cicilan rumah dan motor tetap jalan. Bulan pertama masih bisa mantab (makan tabungan), bulan kedua tabungan habis, tak ada lagi uang untuk makan.
Masifnya PHK otomatis menciptakan pengangguran. Di awal musim Corona saja, data BPS (Badan Pusat Statistik) sudah menunjukkan ada pertambahan jumlah pengangguran, dari 6,82 juta pada Februari 2019 menjadi 6,88 juta pada Februari 2020 atau naik 60.000 orang. Dengan menyimak peristiwa PHK massal dua bulan terakhir, dipastikan jumlah pengangguran naik signifikan.
Seiring dengan itu, persentase orang miskin diperkirakan juga naik, setelah dalam beberapa tahun terakhir turun sampai satu digit. Yang miskin akan bertahan dengan kemiskinannya, yang rentan miskin akan turun peringkat menjadi miskin. BPS rutin mengeluarkan angka kemiskinan setiap Maret dan September. Pada September 2019 penduduk miskin masih 24,79 juta (9,22 persen). Maret 2020? Belum keluar tapi sudah bisa diduga.
Pertumbuhan ekonomi kuartal I yang hanya 2,97 persen (jauh dibawah prediksi Sri Mulyani yang 4,5 persen dan versi Bank Indonesia yang 4,7 persen) seolah mengkonfirmasi kenaikan jumlah pengangguran, karena secara umum setiap pertumbuhan satu persen dapat menyerap 300.000 tenaga kerja. Dengan pertumbuhan ekonomi rendah tenaga kerja yang terserap rendah, sementara pada saat yang sama terjadi PHK.
Misbar merupakan fenomena miskin sementara. Mereka tidak masuk dalam kategori kemiskinan struktural. Ketika PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mulai dilonggarkan per Juni nanti, ekonomi secara perlahan akan bergerak, bisnis mulai jalan, pekerja yang dirumahkan kembali bekerja. Perlahan pula jumlah Misbar akan berkurang.
Apakah 100 persen Misbar akan kembali ke kelas menengah? Mungkin tidak, karena ‘tanpa sengaja’ kita semakin masuk dalam situasi yang diistilahkan ekonomi berkurung (shut-in). Dalam skala kecil, ekonomi berkurung direpresentasikan dengan beragam kegiatan yang dilakukan di rumah lewat aplikasi mulai dari pesan makanan, layanan kesehatan, layanan kebersihan, pesan tiket, sampai menyelesaikan pekerjaan kantor. Situasi ini mendisrupsi bisnis konvensional yang banyak membutuhkan tenaga kerja.
Perlu langkah terobosan agar kegiatan ekonomi di era ‘new normal’ nanti tetap bisa kembali mempekerjakan para Misbar.