REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah memastikan tidak ada ruang bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk kembali bangkit. Dia berharap pihak-pihak tertentu, baik kalangan politisi, akademisi, maupun masyarakat umum, untuk tidak khawatir dan membesar-besarkan isu kebangkitan partai terlarang ini di Indonesia.
Peryataan Basarah itu disampaikan saat memberikan ceramah Pancasila secara virtual terhadap mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ketahanan Nasional Universitas Brawijaya Jumat (15/5/2020) sore sekaligus untuk merespon ramainya pemberitaan mengenai Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang tidak mencantumkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/ 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk mengembangkan paham atau ajaran Komunisme /Marxisme.
"TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, tanpa disebutkan dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila pun, organisasi terlarang ini dan ajaran komunismenya tak mungkin lagi dibangkitkan kembali dengan cara apa pun," tandas doktor bidang hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini.
Menurut Basarah yang juga menjabat Ketua Fraksi PDI Perjuangan, dalam Sidang Paripurna MPR RI Tahun 2003, MPR RI telah mengeluarkan TAP MPR Nomor I Tahun 2003 yang secara populer disebut dengan ‘’TAP Sapujagat’’. Disebut demikian karena TAP MPR Nomor I Tahun 2003 ini berisi Peninjauan Tehadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI sejak 1960 sampai 2002. Dan setelah keluarnya TAP MPR No I Tahun 2003 ini, MPR sudah tidak lagi punya wewenang untuk membuat TAP MPR yang bersifat mengatur keluar (regeling).
Dari total 139 TAP MPRS/MPR yang pernah keluarkan, semuanya dikelompokkan menjadi enam kategori dengan rincian sebagai berikut: Pertama, sebanyak delapan TAP MPR dinyatakan tidak berlaku. Kedua, tiga TAP dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu. Ketiga, delapan TAP dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu. Keempat, 11 TAP dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang. Kelima, sebanyak lima TAP dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR hasil pemilu tahun 2004. Terakhir sebanyak 104 TAP dinyatakan dicabut maupun telah selesai dilaksanakan. Oleh karena MPR saat ini sudah tidak lagi memiliki wewenang untuk membuat ataupun mencabut TAP MPR maka secara yuridis ketatanegaraan pelarangan PKI dan ajaran Komunisme dalam TAP MPRS XXV Tahun 1966 telah bersifat permanen.
"TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu masuk dalam kelompok kedua dan dinyatakan masih berlaku. Jadi, sekali lagi, tak perlu ada kekhawatiran PKI bakal bangkit lagi,’’ tandas Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma) tersebut. ‘’Apalagi ada regulasi lain yang juga mengatur soal itu, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Undang-undang ini memuat larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, dengan ancaman pidana penjara dua belas tahun sampai dengan 20 tahun penjara. Dengan demikian, tidak ada ruang lagi bagi PKI untuk kembali bangkit."
Pada bagian lain, Ketua DPP PDI Perjuangan ini juga mengulas ancaman gerakan Islam Transnasional yang tengah melakukan propaganda di tanah air, satu di antaranya adalah organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sejak didirikan oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani di Palestina tahun 1953, organisasi yang mengusung konsep khilafah ini telah menyebar di banyak negara, termasuk di Indonesia. Sepak terjang HTI memang tidak identik melakukan tindakan kekerasan. Akan tetapi dakwah yang dipropagandakannya demikian berbahaya lantaran mengusung konsep Khilafah Islamiyyah, sebuah imperium tunggal yang melintasi lintas sekat-sekat wilayah negara dan menolak konsep nasionalisme bangsa Indonesia.
Sebagai organisasi massa (Ormas), HTI telah dibubarkan tidak hanya berdasarkan Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, tapi juga oleh pengadilan hingga level Mahkamah Agung. Mahkamah Agung telah menolak permohonan kasasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bernomor 27 K / TUN / 2019 dan resmi diputus pada Kamis 14 Februari tahun 2019. Untuk itu, ia mengajak semua pihak untuk hanya berpegang pada Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara.
"Pancasila adalah dasar negara dan ideologi negara Indonesia yang mengayomi kita semua sebagai bangsa dengan suku dan pilihan agama berbeda-beda. Pancasila memuat unsur-unsur ketuhanan. Sejak kelahirannya Pancasila tidak pernah bertentangan dengan agama tetapi justru keduanya saling melengkapi. Pancasila sebagai dasar negara yang final juga telah diterima baik oleh dua organisasi Islam besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah serta organisasi keagamaan lainnya,’’ tandas Ahmad Basarah.