Jumat 29 May 2020 06:08 WIB

Antara Alqur’an dan Alfurqan

Nama lain dari Alqur’an berarti memisahkan antara yang haq dan batil

Nasaruddin Umar- Imam Besar Masjid Istiqlal
Foto: Republika/ Wihdan
Nasaruddin Umar- Imam Besar Masjid Istiqlal

Oleh Prof KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam pandangan sufistik makna Alqur’an dan Alfurqan berbeda penekanan. Secara harfiah Alqur’an berasal dari akar kata qara`a-yaqrau berarti menghimpun atau mengumpulkan (al-jam’) dan membaca (al-nuthq).

Dari akar kata tersebut lahirlah kata qur’an berarti himpunan atau kumpulan (solidifications). Dari akar kata yang sama lahir kata Alqur’an yang berarti Kitab Suci yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw melalui Jibril untuk dijadikan tuntunan hidup bagi umatnya. Disebut Alqur’an karena kitab itu berisi bacaan (qur’an) dan kandungannya menghimpun keseluruhan inti ajaran kitab-kitab suci sebelumnya.

Sedangkan Alfurqan secara harfiah berasal dari kata farraqa-yufarriqu-furqan berarti membedakan, memisahkan, membagi-bagi, dan memperhadap-hadapkan. Dari akar kata ini lahir kata Alfurqan, nama lain dari Alqur’an berarti memisahkan antara yang haq dan batil, baik dan buruk. 

Secara popular Alqur’an dan Alfurqan mempunyai arti sama (bi mana wahid), yakni kitab suci Alqur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan Jibril, kemudian menjadi sebuab Kibtab  tuntunan hidup bagi umat Islam. Namun dalam pandangan tafsir sufistik (isyari) keduanya memiliki arti yang berbeda.

Dalam pandangan tasawuf, sebagaimana dijelaskan Dawud al-Qushairi, salahseorang musyarrih Kitab Fushush al-Hikam karya Ibn Arabi,  alqur’an dimaknai sebagai himpunan dari berbagai realitas dan entitas yang ada. Alqur’an sering dijadikan istilah untuk maqam lebih tinggi (al-maqam al-‘ulya) atau sering menjadi atribut bagi ‘manusia langit’ (al-insal al-samawi), yaitu orang-orang yang sudah memandang pluralitas kehdupan dan heterogenitas alam semesta sebagai wujud entitas Ilahi (al-jam’iyyah al-ilahiyyah/single divine-entity). Alqur’an menjadi atribut bagi orang yang sudah sampai kepada maqam atas, yang tidak terganggu lagi dengan kahadiran entitas-entitas yang bermacam-macam bahkan cenderung berkontradiksi satu sama lain.

Sedanglan Alfurqan menurut Ibn ‘Arabi digunakan sebagai lambang identitas bumi dan maqam rendah (al-maqam al-sufla). Disebut “manusia bumi” (al-insan al-ardh) atau al-insan al-furqan, karena paradigmanya masih memandang realitas alam ini sebagai makhluk dan entitas yang beraneka ragam. Belum masuk ke wilayah maqam kesatuan (al-maqam al-jam’).

Manusia langit (al-insan al-samawi) yang biasa disebut manusia qur’ani (al-insan al-qur’ani) tidak lagi sibuk mencari identitas setiap entitas yang ada karena mereka sudah sampai kepada kesadaran bahwa pluralitas kehidupan dan heterogenitas entitas yang ada sesungguhnya adalah satu (the oneness) atau biasa disebut al-maqam al-jam’ atau al-jam’iyyat al-Ilahiyyat. Apa yang tampak sebagai the whole entity dalam alam semesta ini, baik makrokosmos maupun mikrokosmos, tidak lain adalah pengejawentahan (tajalli) diri-Nya Sang Maha Esa. Orang yang sampai kepada maqam ini disebut maqam al-qurb al-nawafil. Ada orang yang sampai kepada puncak penyaksian bahwa sesungguhnya yang ada ini tidak ada siapapun dan apapun selain Dia Yang Maha Esa (ahadiyyah/the one and only). Sebetulnya masih ada lagi satu maqam yang lebih puncak yaitu maqam Al-qurb al-faraid, tetapi berbagai kalangan sudah dianggap masuk ke wilayah “al-Qurb”. 

Manusia qur’ani tidak lagi tersedot enenrginya untuk mengidentifikasi entitas-entitas yang berbeda yang ada di sekitarnya karena mereka melihat apa yang ada sesungguhnya adalah hanya sebuah realitas. Tantangan kita sekarang bagaimana beranjak dari manusia bumi menjadi manusia langit. Apa karaker ‘manusia bumi’ dan ‘manusia langit’, masih diperlukan pembahasan tersendiri.

Keanekaragaman realitas ini kemudian menyedot energi untuk melakukan identifikasi, mencari perbedaan dan persamaan antara satu realitas dengan realitas lain. Bahkan perbedaan itu mempengaruhi karakter dan kepribadianya. Ada yang disukai berlebihan dan ada yang dibenci secara berlebihan. Mereka menikmati tetapi sekaligus terbebani dengan pluralisme kehidupan dan heterogenitas alam semesta. Namun lebih banya energinya tersedot untuk melakukan penyesuaian di antara berbagai pluralitas yang ada. Manusia bumi sulit merasakan kebahagiaan dan dan kedamaiaan secara permanen karena paradigmanya masih lebih sering memperhadap-hadapkan antara identitas satu entitas dengan entitas yang lain. Akhirnya ia merasa tidak pernah merasa penuh dan puas kartena sehari-hari mengejar bayangan fatamorgana. Allahu a’lam.

sumber : Dialog Jumat
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement