Oleh Imam Shamsi Ali (Imam/Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundaiton)
REPUBLIKA.CO.ID, Akhir-akhir ini Amerika sedang memanas. Di sekitar 30 kota di 50 negara bagian terjadi kekisruhan-kekisruhan, bahkan kerusuhan, kekerasan dan penjarahan. Bahkan di sekitar Gedung Putih sendiri, memaksa Presiden dan keluarganya sempat disembunyikan di sebuah bunker, di bawah gedung kediaman Presiden AS itu.
Kekisruhan, kekerasan dan bahkan penjarahan dan pembakaran itu dipicu oleh kematian seorang warga hitam (Afro) bernama George Floyd di kota Minneapolis di negara bagian Minnesota oleh aparat Kepolisian di kota itu.
Kematian George Floyd dan banyak yang lain sebelumnya mengakibatkan protes yang terjadi di berbagai kota di Amerika sesungguhnya adalah kobaran bara api dalam sekam yang telah lama tersembunyi oleh kepura-puraan di Amerika. Permasalahan ras (rasisme), ketidakadilan (injustice) dan perlakuan diskriminatif (discrimination) terhadap minoritas merupakan sejarah panjang dan bersifat historis di negara ini.
Bahkan mungkin tidak berlebihan jika saya mengistilahkan prilaku rasis sebagian orang di negara ini bagaikan “dosa asal” (original sin) di negeri ini. Tentu semua masih ingat bahwa penduduk asli Amerika (native Americans) itu adalah mereka yang kita kenal dengan Indian American. Mereka inilah sesungguhnya berhak mengklaim sebagai pribumi di Amerika.
Tapi dalam sejarahnya kendati mereka menerima kedatangan imigran warga putih (European immigrant) dari daratan Eropa, belakangan justeru dimarjinalkan bahkan lebih jauh terjadi pemusnahan secara sistematis dan sistemik.
Setelah imigran Eropa itu menguat (established), kaum native Indian kemudian dari masa ke masa diperlakukan secara buruk dan tidak berkeadilan. Bahkan lambat laun mereka semakin termarjinalkan dan ternihilisasi. Mereka umumnya diberikan kesempatan hidup di daerah-daerah perkampungan dan pegunungan yang tidak mendapat perhatian pembangunan negara.
Berbicara mengenai realita kehidupan Native American ini mengingatkan kita kepada pepàtah Indonesia klasik yang populer: “susu dibalas air tuba”. Kebaikan dan penerimaan pribumi Amerika dibalas dengan prilaku jahat dan rasis dari kalangan imigran Eropa.
Prilaku buruk kepada non White di negeri ini berlanjut dengan “mistreatment” oleh penduduk Putin (White American) kepada warga hitam (Afro) yang dibawa oleh mereka sebagai budak-budak dari negara-negara jajahan mereka di Afrika.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa banyak di antara mereka (budak-budak) itu, bahkan mayoritasnya, adalah orang-orang yang beragama Islam. Hal ini semakin tersingkap dengan perlahan-lahan seiring banyaknya Afro American yang memeluk agama Islam di kemudian hari.
Perlakuan kepada warga hitam ini menjadi catatan sejarah negeri ini, yang pastinya tidak diingkari oleh siapapun. Barangkali bukti yang paling nyata adalah bangkitnya warga Afro melakukan perlawanan di bawah kepemimpinan Martin Luther King Jr, Malcom X, dan lain-lain di tahun 60-an.
Diskriminasi ras berlanjut kemudian kepada bangsa Asia, khususnya Komunitas Jepang yang ditempatkan di kamp-kamp konsentrasi. Mereka seolah menjadi agen-agen musuh Amerika pasca Perang Dunia kedua.
Demikian seterusnya prilaku rasis dan diskriminatif ini berlanjut kepada warga Hispanic atau warga Latin yang datang dari negara-negara jiran di bagian selatan Amerika (South America). Warga Mexico dan Colombia, bahkan warga negara bagian Puerto Rico yang dominannya berbahasa Spanyol juga mengalami prilaku rasis dan diskriminatif dari masa ke masa, hingga saat ini.
Belakangan prilaku diskriminatif dan sentimen anti Islam dan Muslim juga semakin menampakkan diri. Walaupun Islamophobia adalah catatan sejarah panjang di Amerika, kejadian 9/11 menjadi puncak dari semuanya.
Prilaku buruk kepada Komunitas Muslim semakin menjadi-jadi sejak terpilihnya pemerintahan Amerika saat ini. Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump “mistreatment” warga minoritas termasuk warga Muslim semakin meluas.
Seringkali saya katakan di masa lalu sebelum pemerintahan Donald Trump Islamophobia itu ada di pinggir-pinggir jalan. Saat ini justeru keluar dari White House dengan kebijakan yang terasa meminggirkan kaum minoritas.
Bagi kami warga Muslim, keputusan Donald Trump untuk melarang Islam masuk Amerika adalah kebijakan diskriminatif dan rasis kepada warga tertentu karena agama. Yang pastinya disadari oleh warga Amerika sebagai kebijakan yang tidak sejalan dengan Konstitusi maupun nilai-nilai mulia bangsa ini.
Musuh bersama bangsa Amerika
Menyikapi realita buruk dalam Perjalanan bangsa ini tentu menyadarkan semua pihak di Amerika bahwa “tendensi” bahkan realita itu harusnya menjadi musuh bersama untuk diperangi dan diselesaikan. Jika tidak, khawatirnya ini akan menjadi trade mark Kebangsaan yang memalukan.
Sesungguhnya hal ini bukan penyakit ras dan etnis tertentu dari manusia. Tapi lebih kepada penyakit mental manusia yang lupa diri dan ciptaan. Sebuah perasaan lebih (superioritas) karena warna kulit, ras dan etnisitas. Realitanya ini adalah penyakit pertama dalam sejarah makhluk Tuhan (baca sejarah Iblis).
Karenanya kita jangan melihat rasisme ini sebagai penyakit orang putih. Walau kenyataannya sejak masa imperialisme dan kolonialisme, kaum putihlah (Eropa) yang memang mendominasi prilaku Iblis ini. Hal itu karena mereka buta nurani karena keangkuhan dan transgresi yang mereka lakukan ke negara-negara non Putih, khususnya di Asia dan Afrika.
Maka kematian George Floyd dan banyak lagi warga hitam Amerika sebelumnya harusnya menyadarkan bangsa ini untuk bangkit dan melakukan “self correction” (perbaikan diri). Bahwa prilaku rasisme itu adalah musuh bersama bangsa ini dan harus diperangi secara kolektif.
Dari Pimpinan dan Komunitas agama-agama, para pendidik dan institusi-pendidikan, para seniman dan Komunitas Hollywood, hingga para bisnisman dan pelaku pasar, semua memiliki tanggung jawab Yang sama untuk memerangi prilaku rasisme ini.
Tentu tanggung jawab terbesar ada pada penanggung jawab pemerintahan. Mereka adalah pengendali negara sekaligus punya otoritas, baik moral maupun konstitutional untuk melakukan perbaikan-perbaikan secara sistemik untuk memerangi rasisme ini.
Yang menjadi masalah adalah ketika mereka yang berada di posisi kekuasaan justeru memiliki kecendrungan yang sama. Sehingga kerap kali ketika terjadi prilaku rasis dalam masyarakat justeru mendapat dukungan kekuasaan, baik langsung atau tidak langsung. Ketika kaum minoritas bangkit melawan ketidak adilan, mereka dicaci dengan sumpah serapah. Dituduh bandit-bandit atau penjahat-penjahat (thugs), bahkan teroris.
Tapi ketika White Supremasi membantai warga minoritas, di antaranya warga Muslim, Yahudi dan warga Afro American yang paling banyak menjadi korban dalam tahun-tahun terakhir, kerap disikapi setengah hati. Bahkan tidak jarang mendapat pembelaan dari kekuasaan itu.
Saya tidak mendukung penjarahan dan prilaku melanggar hukum apapun bentuknya. Tapi terkadang saya harus memahami ekspresi kemarahan itu sebagai suara-suara perlawanan yang tidak terdengarkan (unheard) kepada rasisme dan ketidak adilan. Selama rasisme dan ketidak adilan dipelihara, apalagi oleh kekuasaan (sistem) maka perlawanan akan tetap berlanjut.
Where there is no justice, there is no peace!
Bahwa di mana saja ada ketidak adilan akan tumbuh resistensi perlawanan. Yang tentu pada akhirnya akan menumbuhkan rasa ketidak amanan di masyarakat. Dan dalam suasana seperti ini diperlukan kepemimpinan (leadership) di tengah masyarakat. Bukan sekedar menampilkan kekuasaan yang nampak seperti arogan kepada rakyat yang termarjinalkan. Semoga!
New York City, 3 Juni 2020