Jumat 13 Dec 2024 20:54 WIB

Wacana Prabowo Kembalikan Pilkada ke DPRD Dinilai Ahli Pemilu akan Membawa Masalah Baru

Wacana mengembalikan pilkada ke DPRD juga dinilai sebagai kemunduran demokrasi.

Rep: Bayu Adji P, Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Pilkada serentak 2024 (ilustrasi)
Foto: DPR RI
Pilkada serentak 2024 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Prabowo Subianto mewacanakan pemilihan kepala daerah kembali diserahkan kepada DPRD. Alasannya, pemilihan kepala daerah secara langsung dinilai memakan biaya politik yang sangat mahal. Dosen Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai pemilihan kepala daerah melalui DPRD justru akan membawa masalah baru.

"Apabila pemilihan dikembalikan ke DPRD mungkin saja biayanya menjadi lebih murah, tapi tidak serta-merta menghilangkan praktik politik uang dan juga politik biaya tinggi dalam proses pemilihannya," kata dia saat dihubungi Republika, Jumat (13/12/2024).

Baca Juga

Menurut Titi, permasalahan utama dalam pemilihan kepala daerah masih harus mengeluarkan biaya tinggi adalah buruknya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai tidak pernah benar-benar dibenahi dan diperbaiki. Mengubah pemilihan kepala daerah dari tangan rakyat menjadi wewenang DPRD disebut hanya memindahkan persoalan dari ruang publik ke dalam ruang-ruang tertutup.

Namun, hal itu akan berdampak sangat besar, lantaran kedaulatan rakyat menjadi tersandera dan masyarakat bisa semakin dijauhkan dari urusan-urusan publik. Di sisi lain, tata kelola bernegara hanya menjadi urusan eksklusif dari politisi partai politik. 

"Hal itu bisa bisa tereskalasi menimbulkan ketidakpuasan dan juga kemarahan politik yang bisa berdampak buruk bagi kepercayaan publik dan dukungan bagi tata kelola pemerintahan di daerah," ujar Titi.

Ia mengingatkan, perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan langsung melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilatarbelakangi oleh praktik politik uang yang tinggi. Ketika itu, yang terjadi adalah jual beli dukungan atau jual beli kursi dan suara dari para anggota DPRD demi keterpilihan kepala daerah oleh para anggota DPRD. 

Selain itu, pada saat itu juga terjadi protes warga akibat keterputusan aspirasi karena calon yang dipilih oleh DPRD tidak sejalan dengan kehendak masyarakat. Bahkan, di sejumlah daerah, kantor DPRD dirusak akibat masyarakat yang tidak puas dengan hasil pemilihan oleh DPRD.

Titi mengakui, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 perlu dievaluasi. Pasalnya, meskipun rakyat memilih secara langsung wakilnya di eksekutif daerah melalui pilkada, peran partai sangat besar dalam pencalonan pilkada.

Hal itu dinilai berakibat tingginya suara golput dan juga suara tidak sah karena pemilih merasa tidak terwakili dan kecewa dengan calon-calon yang diusung oleh partai. Hal tersebut bisa semakin buruk apabila pemilihan benar-benar sepenuhnya dilakukan tidak langsung melalui wakil-wakil partai di DPRD.

"Kedaulatan rakyat makin tersandera dan masyarakat makin tidak punya posisi tawar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bernegara," kata dia.

Ia menilai, pemerintah lebih baik fokus menata konsolidasi demokrasi di Indonesia tanpa harus banyak membuat narasi yang bisa menimbulkan kontroversi. Menurut dia, terlalu banyak kontroversi bisa mengganggu konsentrasi pemerintahan Probowo dalam melaksanakan program pembangunan dan pemenuhan janji-janji politiknya.

"Itu sangat kontradiktif," kata Titi.

Tak hanya itu, Titi menyarankan agar DPR lebih fokus merevisi Undang-Undang Pilkada, sehingga persoalan-persoalan terkait dengan politik uang, lemahnya penegakan hukum, dan problematika integritas partai politik, serta penyelenggara pemilu bisa dibenahi serius. Menurut dia, efisiensi juga bisa dilakukan tanpa harus mengembalikan pemilihan langsung menjadi pemilihan DPRD.

"Caranya antara lain dengan melakukan pengaturan tranparansi dan akuntabilitas dana kampanye secara serius dan efektif sehingga bisa menekan dana-dana ilegal yang dikeluarkan oleh parpol dan calon. Kemudian juga bisa dilakukan dengan mengurangi biaya-biaya seremonial dalam penyelenggaraan pemilu yang mestinya tidak perlu dialokasikan," kata dia.

Ia mencontohkan, salah satu contoh yang perlu dilakukan untuk membuat biaya politik lebih murah adalah menghapus pemborosan yang dilakukan oleh KPU. Seperti diketahui, KPU dilaporkan menggunakan jet pribadi ketika melakukan kunjungan ke daerah serta fasilitasi mobil dinas yang lebih dari satu.

"Apabila hal itu dilakukan, maka juga bisa berkontribusi mengurangi biaya dalam penyelenggaraan pemilu," ujar Titi.

photo
Jadwal Pilkada Serentak 2024 - (Infografis Republika)

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement