REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*
Sebuah foto bayi mengenakan face shield atau pelindung wajah menyita perhatian saya. Pertama melihatnya, reaksi spontan saya adalah "lucu dan imut banget". Sebetulnya ini reaksi yang mendua, entah bayinya yang lucu dan imut, atau pelindung wajah yang dikenakannya karena berukuran sangat mini.
Namun, makin lama menatapnya, saya menjadi sedih. Saya membatin, "Kasihan sekali kamu, Nak." Dia tentu tak kuasa menampik apa pun yang dikenakan di tubuh kecilnya. Niat orang dewasa di rumah sakit tempat dia lahir untuk memberikan perlindungan plus padanya. Bayi imut, lahir dalam masa pandemi virus Covid-19, terpaksa dimaksimalkan perlindungannya dengan pelindung wajah agar tak terpapar virus.
Apakah sang bayi merasa terganggu? Ah, dia toh belum bisa apa-apa. Nyaman atau tidak, dia hanya seorang bayi yang kerjanya tidur, menangis, dan minum susu. Mungkin itu yang ada di pikiran kita.
Namun, bayangan bayi dengan face shield itu lagi-lagi membuat sedih. Sabar ya, Nak, karena boleh jadi seiring pertumbuhan kamu, pelindung wajah itu sepertinya bakal menjadi salah satu aksesorimu. Semoga saja tak lama ya.
Membayangkan seorang anak yang sedang tumbuh, lagi lucu-lucunya ingin berlari ke sana kemari, tentu tak nyaman jika hanya di rumah. Sesekali membawanya keluar rumah menghirup udara segar, berlarian di lapangan, di bawah siraman sang surya, adalah salah satu hal sederhana yang membahagiakan sang anak. Namun, kini semua itu menjadi pertimbangan orang tua. Cukup amankah? Tentu banyak orang tua yang kini diselimuti perasaan waswas.
Pada saat masa transisi menuju new normal, bukan pemandangan aneh melihat orang-orang dengan penampilan yang terproteksi. Saya lagi-lagi terpaku melihat seorang anak usia sekitar tiga tahun sedang mendorong mobil-mobilan saat bermain di depan pintu pagar rumahnya. Dia bermasker, lalu pakai face shield pula.
Ya Tuhan, anak seumur itu kok bisa sabar ya dan tak menolak segala macam perabotan "aneh" di wajahnya. Orang tuanya tentu sangat telaten dan sukses memberi anaknya pengertian bahwa sekarang keluar rumah harus pakai masker! Bersiaplah menghadapi apa yang disebut new normal, Nak, dan ini harus dihadapi bersama-sama.
Pandemi virus Covid-19 yang kini melanda hampir seluruh wilayah Indonesia membuat pakai masker kini menjadi keharusan. Hal itu sudah menjadi salah satu protokol kesehatan yang harus dijalankan siapa pun.
Protokol kesehatan kini menjadi urutan pertama yang harus dipertimbangkan dalam segala aspek interaksi kita. Tentu sudah jamak mendengar imbauan; pakailah masker, rajin-rajinlah cuci tangan pakai sabun dan air yang mengalir, jaga jarak dan kurangi berkerumun. Itulah protokol kesehatan yang paling umum.
Dalam masa transisi ini, berbagai bidang secara bertahap menyusun kebijakannya masing-masing. Untuk peribadatan, beberapa masjid di wilayah yang bukan zona merah sejak pekan lalu sudah mulai kembali melaksanakan sholat Jumat. Protokol kesehatannya adalah jamaah wajib pakai masker, ada petugas yang mengecek suhu badan dengan thermogun, bawa sajadah sendiri, jaga jarak minimal satu meter, waktu sholat diperpendek, fasilitas wastafel disiapkan, serta tak ada salam-salaman sesama jamaah.
Protokol kesehatan tersebut bahkan sudah difatwakan oleh MUI. Daerah yang steril dari virus corona atau Covid-19 harus membuka rumah ibadah agar masyarakat bisa melaksanakan sholat Jumat dan sholat berjamaah di masjid.
Di tempat yang masih rawan penularan Covid-19, adzan tetap dikumandangkan di masjid. Namun, yang melaksanakan sholat hanya imam dan marbot. Masyarakat sekitar tidak perlu ke masjid; cukup melaksanakan sholat di rumah masing-masing.
Lalu, bagaimana dengan sektor pendidikan? Kesehatan peserta didik dalam penerapan new normal tentu perlu diprioritaskan. Namun, di satu sisi, pemenuhan hak-hak anak dalam memperoleh pelayanan pendidikan juga harus diperhatikan. Pelaksanaan new normal di dunia pendidikan memerlukan kewaspadaan yang tinggi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang telah memutuskan tahun ajaran baru tetap akan dimulai pada pertengah Juli. Namun, metode pembelajaran akan dilakukan dengan sistem jarak jauh untuk sekolah yang ada di wilayah zona merah dan zona kuning. Adapun keputusan zona merah, zona kuning, maupun zona hijau merupakan keputusan dari gugus tugas pencegahan Covid-19.
Jadi, yang membuka sekolah nantinya bukan Kemendikbud, melainkan keputusan dari gugus tugas. Kemendikbud hanya memberikan syarat-syarat dan prosedur sekolah seperti apa yang boleh dibuka.
Kehidupan new normal di berbagai sektor ini memang harus berjalan. Tak terkecuali sektor industri pariwisata yang boleh dibilang diterpa guncangan cukup hebat.
Namun, ada berbagai daerah kunjungan wisata yang sudah menyiapkan stimulus agar wisatawan mulai berkunjung. Fasilitas swab gratis di pintu masuk wilayah, misalnya di bandara, sudah disiapkan. Mulai dari pintu masuk itu, ingin dipastikan jika wisatawan yang berkunjung dalam kondisi "bersih".
Provinsi Sumatra Barat salah contoh kawasan wisata yang cukup siap dengan SOP-nya. Simak saja. Dari bandara, pengunjung harus menjalani pemeriksaan suhu tubuh, pemeriksaan kesehatan, dan tes swab. Begitu hasil swab sudah keluar paling cepat satu hari, wisatawan yang sudah dinyatakan negatif corona dipersilakan mengunjungi destinasi wisata di Sumbar.
Jika hasil swab-nya positif corona, orang tersebut akan diisolasi, baik isolasi di fasilitas pemerintah maupun isolasi mandiri dengan pengawasan dari dinas kesehatan. Sementara itu, wisatawan yang masuk dari jalur darat akan diberikan rapid test secara gratis.
Seluruh destinasi wisatanya juga sudah siap untuk menjamin keamanan wisatawan yang masuk. Di setiap destinasi wisata sudah disediakan tempat cuci tangan. Selain itu, ada petugas pengecekan suhu. Aparat Satpol PP pun berjaga di lokasi wisata untuk mencegah bila ada kerumunan dan orang yang tidak patuh terhadap protokol kesehatan seperti tidak memakai masker.
Jadi, berwisata dalam era new normal perlu disiplin protokol pencegahan penularan Covid-19. Dengan begini tentu wisatanya menjadi tak sebebas dan senyaman sebelum virus ini merajalela. Laksana penari, bergeraklah sesuai dengan irama tetabuhan sehingga menghasilkan harmoni. Bergeraklah, tetapi sesuai dengan tatanan protokol yang ditetapkan.
New normal ya begitulah. Harus dihadapi jika tidak ingin hanya berdiam diri di rumah.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id