REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nashih Nasrullah*
Sejak awal saya tidak begitu tertarik dengan rencana Presiden Tayyib Erdogan, sosok yang oleh para penggemarnya dijuluki Sultan itu, mengalihfungsikan Hagia Sophia sebagai masjid. Tak terhitung berapa kali rencana tersebut dia lontarkan di media.
Pengalihfungsian bangunan menjadi tempat ibadah umat Muslim bukan hanya akan terjadi di Hagia Sophia, tapi pernah terjadi pada Gereja Akdamar dan Biara Sumela yang sebelumnya dialihfungsikan menjadi museum, dan kini berubah keseluruhan bangunannya menjadi masjid.
Hagia Sophia sendiri, sebelumnya merupakan sebuah gereja pertama yang diresmikan pada 15 Februari 360 M di masa pemerintahan kaisar Konstantius II oleh uskup Eudoxius dari Antioka. Selama 1.400 tahun berdiri, Hagia Sophia telah beberapa kali beralih fungsi hingga akhirnya menjadi museum seperti sekarang. Pada 1453 Ottoman mengalihfungsikan gereja ini menjadi masjid. Lalu pada era Turki modern, Mustafa Kemal Atatürk, menyulapnya sebagai musem pada 1935.
Kebijakan yang menurut survei termutakhir diklaim memperoleh dukungan 70 persen lebih simpati rakyat Turki, namun, sejatinya dia tak ubahnya motor pendorong di tengah mogoknya mesin popularitas Erdogan. Kebijakan tak populis dengan memainkan isu-isu yang mendatangkan simpati publik Islam di level domestik. Pengalihfungsian gereja menjadi masjid adalah salah satunya.
Menghubungkan anjloknya popularitas dengan kebijakan-kebijakan-kebijakan yang membangkitkan sentimen keislaman tak populis Erdogan bukan perkara sulit. Menurut survei AREA Research, awal tahun lalu, ada pertanyaan paling signifikan yang mempertegas anjloknya popularitas Erdogan dan partai pendukungnya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yaitu apakah para responden akan memilih Erdogan dan partainya pada pemilu-pemilu mendatang? Sebanyak 52,4 persen menyatakan tidak akan menjatuhkan pilihan mereka ke Erdogan ataupun AKP, sedangkan 35,3 persen memilih Erdogan dan partai pendukungnya.
Peneliti Keamanan dan Pengembangan Kebijakan Institut Stockholm, Gareth Jenkins, Keamanan dan Pengembangan Kebijakan, menyebutkan bahwa AKP kehilangan 840 ribu anggota pada 2018. “Popularitas Erdogan dan partainya turus melorot selama kurang lebih tujuh tahun terakhir secara artifisial didorong peristiwa satu kali, ke titik di mana itu terlihat tidak dapat diubah,” kata dia.
Survei lembaga lain juga menyimpulkan hal serupa. Peringkat popularitas Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah jatuh ke level terendah sejak Oktober 2018, menurut survei baru. Temuan perusahaan Pollster Metropoll juga menunjukkan bahwa persetujuan publik untuk pemimpin Turki telah turun hampir dua poin sejak Desember 2019, dari 43,7 persen menjadi 41,9 persen pada Januari tahun ini.
Para ahli percaya alasan utama yang melatarbelakangi berkurangnya dukungan untuk Erdogan adalah karena otoritarianisme dan perebutan kekuasaannya yang merusak institusi demokrasi negara tersebut, sejak kudeta gagal 2016 yang disangkakan dan dilimpahkan akibatnya kepada para oposisi.
Laporan Globalnews menyebutkan, lebih dari 77 ribu oposisi ditangkap masuk dalam daftar teroris Kurdi atau pengikut Gulen, 130 ribu pegawai atau karyawan termasuk akedemisi dinonaktifkan, 170 jenderal dan 7.000 pejabat tinggi militer diberhentikan. Media juga mengalami nasib yang sama. Ada 200 media yang dibredel pemerintah dan 143 jurnalis kehilangan pekerjaan mereka.
Berk Esen, seorang akademisi dalam hubungan internasional di Universitas Bilkent di Ankara, juga menyalahkan pengurangan kepercayaan pemilih pada keadaan ekonomi yang menurun dan krisis lain baik di dalam maupun di luar negeri.
Selama dua tahun terakhir lira Turki telah melemah sebesar 36 persen dan investasi di negara itu telah jatuh karena kekhawatiran intervensi negara dalam ekonomi dan meningkatnya risiko geopolitik.
"Meskipun partai yang berkuasa di masa lalu telah memilih krisis politisasi untuk memobilisasi pendukung melawan oposisi, partai yang berkuasa tampaknya tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengatasinya secara efektif," kata Esen kepada Arab News.
Ditambah dengan meningkatnya sentimen kronisme dan korupsi, masalah ini telah menguras dukungan AKP, kata Esen. Skandal korupsi baru-baru ini yang melibatkan Bulan Sabit Merah Turki juga telah mencoreng reputasi pemerintah. Belum lagi kebijakan luar negeri Erdogan yang terlampau berisik dan berisiko, seperti keterlibatan dalam konflik Suriah dan Libya belakangan ini.
Kembali pada urusan Hagia Sophia, membaca langkah pemerintah Erdogan mengalihfungsikan Hagia Sophia sebagai masjid, tentu tak bisa dilepaskan dari variabel politik internal Turki. Rencana ini juga tak menjawab apapun wajah kepemimpin Erdogan, kecuali rupa pragmatisme Erdogan. Dia akan mengambil langkah apapun untuk mempertahankan kekuasaannya. Eskalasi pragmatisme Erdogan semakin mengkristal dengan serangkaian penangkapan terhadap oposisi yang dituduh terlibat kudeta gagal 2016. Tak terkecuali rentetan penangkapan rezim Erdogan terhadap pengikut Fathullah Gulen.
Polemik Hagia Sophia mesti dibaca dalam kerangka politik dalam negeri Turki. Apalagi pengalihfungsian gereja ke masjid lagi-lagi tak akan mengubah wajah apapun dari negara Turki modern, ia tetap akan sekuler dan perebutan kekuasaan di negara bekas kekuasaan Ottoman itu akan tetap eksis. Rupa politik Turki begitu saja berulang dalam sejarah, yang membedakan satu kubu dan kubu lain hanyalah bungkus. Sepakat dengan judul resonansi mantan pemimpin redaksi Republika yang ditayangkan pada 2019 lalu “Saya (tak) lagi mengagumi Erdogan.”
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id