Selasa 14 Jul 2020 17:33 WIB

Saatnya Membahas RUU Ekonomi Syariah

Ini saat yang tepat ekonomi syariah membantu pemulihan ekonomi Indonesia.

Ilustrasi Ekonomi Syariah
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Ekonomi Syariah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ronald Rulindo, PhD*

Pandemi Covid-19 disadari membawa dampak yang sangat besar pada menurunnya kinerja perekonomian. Pemerintah Indonesia berjuang keras agar pandemi ini tidak berujung pada resesi apalagi krisis ekonomi. Berbagai hal telah dilakukan, termasuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perppu tersebut selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang dalam UU No. 2 Tahun 2020. UU No 2 Tahun 2020 ini menjadi dasar hukum bagi pemerintah, salah satunya dalam mendanai penanggulangan dan pencegahan dampak negatif pandemi Covid-19 yang lebih besar pada ekonomi masyarakat. Singkat cerita, berdasarkan UU ini, Pemerintah dapat menerbitkan surat utang dalam jumlah besar sehingga dapat melebihi batas defisit anggaran yang diizinkan pada masa normal dan menggunakan dana dari utang tersebut untuk pemulihan ekonomi nasional.

Relevansi Ekonomi Syariah

Tulisan ini tidak bermaksud mengkritisi tentang utang baru yang diterbitkan Pemerintah ataupun mekanisme yang disepakati Pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional. Namun, tulisan ini bermaksud mengingatkan pegiat ekonomi syariah untuk segera membahas RUU Ekonomi Syariah, karena ini adalah saat yang tepat untuk ekonomi syariah mengambil peran yang lebih besar membantu pemulihan ekonomi negara ini.

Sebagaimana yang telah sering didiskusikan, instrumen ekonomi syariah seperti wakaf, dapat mendanai biaya penyediaan infrastruktur kesehatan, infrastruktur fisik, ataupun infrastruktur sosial. Selain itu, zakat selain dapat mendorong distribusi kekayaan pada kaum ekonomi bawah juga mampu meningkatkan daya beli masyarakat ekonomi lemah.

Sekarang, bagaimana caranya agar pengumpulan zakat dan wakaf dapat dilakukan secara masif? Bagaimana potensi zakat dan wakaf yang sangat besar dapat difasilitasi sehingga ketergantungan pada utang dapat dikurangi?

Misalkan, dapatkan pemerintah menjadikan zakat dan wakaf sebagai instrumen fiskal yang kemudian ditargetkan khusus untuk membiayai program pengentasan kemiskinan, atau pembangunan infrastruktur fisik dan sosial yang mungkin tidak feasible untuk dibiayai secara komersial dapat dijalankan, sehingga walau dalam jangka pedek mengurangi pendapatan negara berupa pajak, tapi hakikatnya dapat meningkatkan efektifitas pengelolaan keuangan negara.

Selanjutnya, kita kita perlu memikirkan bagaimana RUU Ekonomi Syariah ini dapat membesarkan keuangan syariah terutama dengan menonjolkan keunikan keuangan syariah dan memperbesar dampaknya bagi perekonomian. Dengan demikian, keengganan Pemerintah dan Otoritas Keuangan untuk memperbesar industri keuangan syariah karena anggapan hanya memindahkan uang dari sisi kantong kiri ke kantong kanan dapat dihilangkan.

Keunikan bank syariah dapat ditawarkan pada nasabah yang memiliki karakteristik tertentu. Memang benar, banyak pemilik dana, khususnya korporasi menempatkan uangnya pada perbankan mengharapkan imbal hasil yang tetap dan risiko yang relatif rendah. Tetapi, ini hanya salah satu tipe nasabah perbankan.

Banyak juga elemen masyarakat yang masuk tipe kedua, khususnya individual, yang tidak terlalu peduli dengan bunga dan bagi hasil. Mereka menempatkan uang pada bank hanya demi alasan keamanan dan kemudahan bertransaksi.

Pelanggan seperti ini dapat ditawarkan simpanan dalam bentuk Qardh dengan tidak dikenakan biaya. Dengan demikian, bank syariah akan memiliki sumber dana murah untuk disalurkan pada pembiayaan dengan biaya rendah. Pembiayaan berbiaya rendah ini mampu mendorong roda perekonomian yang lebih besar, khususnya jenis-jenis usaha yang memiliki dampak sosial lebih besar dibandingkan keuntungan komersial.

Selain itu, terdapat tipe ketiga, yaitu tipe investor. Masyarakat tipe ini, selain menempatkan dananya di bank juga banyak berinvestasi di pasar modal, dan bahkan pada lembaga keuangan formal atau non formal yang bisa dikategorikan sebagai shadow banking. Tipe ini memang mencari keuntungan, tetapi mereka juga berani menanggung risiko sepanjang risiko tersebut dapat diukur dan dikendalikan.

Hanya saja, keunikan bank syariah, dengan akad mudharabah dan musyarakahnya tidak akan dapat memenuhi kebutuhan investasi masyarakat dalam tipe ini, apabila bank syariah masih dipaksakan sebagai bank komersial biasa. Dengan adanya produk investasi bank syariah yang betul-betul merefleksikan ciri akad mudharabah dan musyarakah, perbankan syariah diharapkan dapat mendorong lebih banyak inovasi ekonomi dan bisnis termasuk teknologi. Namun, hal ini sulit dilakukan tanpa perubahan dan penyesuaian perturan yang ada.

RUU Ekonomi Syariah ini diharapkan menjadi solusi ketidakmampuan kita melalukan swasembada, termasuk swasembada produk-produk halal. Saat ini belum ada dasar hukum yang jelas bagi pengembangan industri halal.

RUU Ekonomi Syariah dapat menjadi solusi, memberikan kesempatan pada industri besar untuk terlibat pada pengembangan industri halal, dari hulu hinga hilir, dengan syarat melibatkan UMKM dan melaksanakan alih teknologi. RUU Ekonomi Syariah dapat memberikan insentif untuk mengundang lebih banyak pihak menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement