RETIZEN --- Penulis: Muhamad Bukhari Muslim*
Media penyebaran informasi telah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Apabila dulu masyarakat mengakses informasi melalui radio, maka hari ini telah dapat diakses melalui televisi.
Kini pun peran televisi sebagai penyampai informasi mulai digeser oleh media baru bernama media sosial. Televisi sudah cenderung diabaikan dan pencarian informasi mulai terpusat di media sosial. Baik itu yang berkenaan dengan informasi politik, ekonomi, sosial, tak terkecuali masalah agama.
Iklim Keagamaan di Media Sosial
Media sosial telah menjadi keniscayaan dan hal yang tak terpisahkan dari masyarakat, termasuk masyarakat beragama. Sehingga dalam mencari informasi seputar keagamaan, mereka tidak lagi pergi ke ulama dan kiai pesantren.
Melainkan lari ke media sosial. Ini tentu mengkhawatirkan. Iklim keagamaan di media sosial saat ini cukup keras dan emosional. Karena dikuasai oleh kelompok-kelompok Islam konservatif.
Hal ini dapat dilihat dengan mencuatnya isu tentang Piagam Jakarta pada belakangan hari ini. Isu yang sejatinya telah lama terkubur dalam memori bangsa. Tetapi oleh kalangan konservatif, persoalan ini kembali diangkat.
Padahal perdebatannya telah lama selesai di antara pendiri bangsa Indonesia. Isi dan butir-butir Piagam Jakarta dinilai tidak ramah terhadap karakter bangsa Indonesia yang multikultur.
Di mana tidak hanya ada agama Islam, tapi juga ada agama-agama lain seperti Kristen, Buddha dan Hindu. Karenanya bersikukuh menjadikan Islam sebagai yang utama merupakan sikap yang tidak bijaksana.
Tidak berhenti di situ, seruan-seruan jihad juga menggema di langit media sosial. Hal itu dilakukan dengan dalih amar ma’ruf (menyeru pada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah dari kemunkaran).
Namun pada praktiknya, kelompok garis keras lebih menitikberatkan pada aspek nahi munkar. Bedanya dengan gerakan Islam moderat, kelompok ini melakukan aksi-aksi amar ma’ruf dan nahi munkar-nya dengan menggunakan kekerasan.
Selain itu, mereka yang kesehariannya bergumul dengan media sosial, menurut hasil sebuah penelitian, amat berbeda dengan mereka yang tidak.
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa mereka yang bergumul di media sosial jadi memiliki hasrat yang besar untuk mendirikan negara Islam. Mereka terpukau dengan segala hal yang berbau Islam, meskipun barangkali Islam tidak menghendaki demikian.
Wacana pengkerdilan terhadap minoritas juga sering digencarkan. Mereka menginginkan agar di Indonesia (negara yang sedemikian jelasnya mendeklarasikan dirinya sebagai negara bangsa), tidak ada yang berhak berkuasa di dalamnya kecuali Islam. Fenomena takfir juga tidak kalah ramai di laman media sosial.
Fenomena inilah yang melahirkan tuduhan seperti sesat, liberal dan lain-lain. Tuduhan yang diniatkan untuk membunuh karakter orang atau kelompok yang diserang. Supaya masyakat tidak lagi percaya dengan segala yang disampaikan dari orang atau kelompok tersebut.
Wacana-wacana keagamaan yang demikianlah yang memenuhi dinding media sosial. Makanya tidak heran jika ada peneliti yang menyebutkan bahwa kalangan-kalangan Islam kanan atau yang biasanya disebut konservatif telah memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan paham-paham keagamaan mereka yang ekslusif.
Hal ini tentu miris. Mengingat hal tersebut akan mengancam keutuhan kita sebagai bangsa. Keberagaman Indonesia yang tertuang dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika” mulai dirongrong oleh mereka yang menginginkan negara ini hanya dikuasai oleh satu kelompok.
Tantangan Moderasi Beragama
Realitas keberagamaan di media sosial yang diuraikan di atas seharusnya menjadi kegelisahan kalangan ahli agama yang memiliki wawasan keagamaan yang moderat dan seimbang.
Sebab jika tidak segera ditanggulangi dan dibendung, arus ekslusifisme dan konservatisme agama akan semakin menghegemoni pikiran publik di media sosial. Karakter bangsa Indonesia yang ramah, toleran dan penuh kasih bisa jadi akan berubah menjadi sangar dan pemarah.
Kementerian Agama di bawah pimpinan Lukman Hakim Saifudin memang telah menjadikan isu moderasi beragama sebagai isu yang krusial. Seminar dan diskusi telah digelar untuk mensosialisasikan pikiran-pikiran yang moderat dalam beragama.
Hanya saja, seminar dan diskusi semacam itu hanya menjadi konsumsi kalangan ‘elit’ intelektual. Padahal penulis mengira, bukan orang-orang semacam itu yang menjadi target dari sosialisasi gagasan moderasi beragama.
Kalangan yang harusnya menjadi sasaran dan dibidik untuk program di atas adalah masyarakat awam. Sekarang masyarakat awam banyak berselancar di media sosial. Karenanya gagasan-gagasan tentang moderasi beragama harus digencarkan di sana.
Ada satu kritik penulis terhadap penyebaran ide-ide moderasi beragama, yakni bahasa yang digunakan terlalu ilmiah dan akademis. Sedangkan masyarakat di media sosial adalah masyarakat awam.
Karenanya jika ingin gagasan tentang moderasi beragama tersosialisasi dengan sukses di media sosial, para ulama, cendekiawan atau kiai harus merendahkan bahasanya dan menggunakan bahasa yang sesuai dengan kemampuan masyarakat awam.
Peran Ulama dan Cendekiawan Moderat
Pada iklim media sosial yang demikian, keberadaan cendekiawan dan ulama yang berwawasan moderat menjadi sangat dibutuhkan.
Mereka yang sebelumnya hanya fokus menyebarkan gagasan moderasi beragamanya dengan jadi pembicara di kampus atau mengisi kajian di mesjid, harus ‘turun gunung’ dan ikut mewarnai wacana yang ada media sosial. Wacana yang berkembang di dalamnya jangan dibiarkan dikuasai oleh kalangan Islam kanan.
Kehadiran kajian-kajian online yang diinisiasi oleh ulama-ulama moderat seperti Ulil Abshar Abdallah dengan Ihya Ulumuddin-nya, Abdul Moqsith Ghazali dengan Fathul Mu’in-nya, Nadirsyah Hosen, dan Husein Ja’far Al Hadar, harus dicontoh dan diikuti oleh ulama atau cendekiawan moderat lainnya. Mereka harus terlibat dalam kontra wacana radikalisme di media sosial.
Sebab keterlibatan kalangan Islam moderat dalam pertarungan wacana di media sosial, setidaknya akan memberi dua harapan bagi Islam Indonesia. Pertama, potensi radikalisme dan intoleransi, terutama di kalangan anak muda, dapat terminimalisir.
Kedua, kehadiran kajian-kajian oleh ulama dan cendekiawan moderat pada dunia virtual tersebut dapat kembali mengubah wajah Islam Indonesia menjadi ramah dan mengembalikan benih-benih moderatisme dan inklusifisme beragama di Indonesia.
*Muhamad Bukhari Muslim, Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM PK Ushuluddin UIN Jakarta