REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu*
Ahad, 19 Juli 2020 atau tiga hari sebelum bulan Dzulqadah berganti menjadi bulan Dzulhijjah, Indonesia kehilangan salah satu profesor aksara, Sapardi Djoko Damono. Indonesia berduka kehilangan sastrawan besar. Media sosial dipenuhi dengan kalimat-kalimat puitis nan romantis dari para warganet yang menyadur puisi, sajak, dan prosa dari eyang Sapardi. Namun, sosmed dipenuhi diksi-diksi surgawi hanya bertahan satu hari sebelum sebuah postingan yang memporak-porandakan keayeman jagat dunia maya: Klepon tak Islami.
Klepon, ada apa dengan klepon? Kami di redaksi Republika kaget terheran-heran, kok bisa klepon jadi trending topic?
Postingan yang membuat banyak warganet terpancing berkomentar, baik komentar buruk, makian, cacian, umpatan, hingga pembelaan, itu berisi sebuah foto kue klepon berwarna hijau dengan parutan kelapa di atasnya. Yang membuat postingan itu kontroversi adalah captions yang ditempelkan di foto tersebut: KUE KLEPON TAK ISLAMI. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami. Untuk mempertegas (seolah-olah) siapa yang membuat, dicantumkanlah nama "Abu Ikhwan Aziz".
Guna mengurai isu tersebut, kita perlu membedahnya menggunakan analisis framing. Dalam ilmu komunikasi, analisis framing adalah versi terbaru dari pendekatan analisis wacana. Sudibyo dalam bukunya Analisis Framing Kontruksi Ideologi dan Politik Media menyebut, gagasan framing pertama kali dikenalkan Beterson pada tahun 1955 yang awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas.
Dalam literatur studi komunikasi, konsep framing sudah digunakan secara luas untuk menggambarkan proses penyeleksian aspek-aspek khusus sebuah realita. Analisis framing digunakan untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksikan fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perpektifnya.
Nah, postingan soal Kue Klepon tak Islami yang viral di media sosial tersebut menggunakan analisis framing itu. Tujuannya apa? tentu saja menggiring pembaca (warganet) untuk berkomentar sesuai dengan apa yang menjadi tujuan si pembuat postingan: memancing keributan.
Menurut saya, pembuat postingan itu juga memanfaatkan ilmu psikologi dalam pemasaran yakni membangkitkan emosional calon pelanggan. Pelanggan di postingan tersebut adalah warganet. Dengan memposting Kue Klepon tak Islami, tanpa harus banyak bekerja keras, si pemosting akan meraup tujuannya lebih cepat karena besar kemungkinan umpannya akan disambar akun-akun lain. Jika umpan sudah termakan, para warganet pun akan bereaksi emosional. Baik yang pro maupun yang kontra.