Rabu 02 Sep 2020 15:15 WIB

Pentingnya Filantropi Kesehatan Dukung JKN di Era Covid-19

Kolaborasi filantropi ini diharapkan juga terjadi untuk pasien-pasien ODGJ.

Red: Karta Raharja Ucu
Dr. Pradipta Suarsyaf, MMRS, Direktur RS Lancang Kuning Dompet Dhuafa Pekanbaru
Foto:

Permasalahan indirect-cost lainnya seperti biaya penunggu keluarga pasien, biaya rumah singgah pasien dalam antrean layanan di RS yang membutuhkan waktu beberapa hari menunggu. Sebuah permasalahan domino yang sangat berat untuk ditanggung oleh mereka yang tidak mampu.

Contoh nyata perihal kendala rujuk merujuk ini salah satunya terjadi di Riau yakni keluhan keluarga di daerah Bungaraya, Kabupaten Siak dengan salah satu anggota keluarganya yang terdiagnosis adanya gangguan jiwa atau sering disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dipasung di tengah sawah tanpa perhatian yang manusiawi. Keluarga cenderung tidak peduli, keluarga terpaksa untuk melakukan pemasungan karena tidak sanggup merawatnya, dan tidak mampu membiayai transportasi untuk berobat ke Kota Pekanbaru yang jika dihitung pulang pergi akan menghabiskan Rp 400 ribu sampai Rp 600 ribu. angka yang fantastis untuk mereka yang tidak mampu di daerah. Selain itu jarak tempuh yang dihabiskan bervariasi 4-6 jam perjalanan.

ODGJ dalam pengantaran rujukan ke rumah sakit tidak bisa hanya ditemani satu orang, sebab kondisi kejiwaan yang tidak stabil cenderung bisa membahayakan siapapun disekitarnya selama proses pengantaran/rujukan. Jumlah SDM standar pengantaran minimal ODGJ yang gaduh gelisah walaupun sudah diberikan obat agar lebih tenang setidaknya 2-3 orang yang mendampingi.

Memang ODGJ tersebut dan keluarganya terdaftar dalam program JKN KIS sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI), tetapi karena kendala biaya transportasi mereka tidak bersedia dibawa ke Pekanbaru. Selain biaya transportasi, ternyata keluarga mengalami pengalaman tidak mengenakan sebab selama dirawat cukup lama di RS, ODGJ harus juga menanggung indirect-cost lain (out of pocket) yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan yakni biaya tambahan untuk laundry pakaian setiap hari. Sehingga sampai ODGJ tersebut selesai dirawat keluarga terbebani biaya laundry yang cukup besar ditengah keterbatasan ekonomi. Sebab itulah keluarga pasien tidak ingin ODGJ keluarganya ini kembali ke RS.

Jadi bisa dibayangkan di tengah wabah seperti saat ini ODGJ terhambat pengobatannya untuk mendapatkan rawat inap hanya karena biaya indirect-cost. Dan ini tidak hanya terjadi untuk kasus ODGJ dan keluarganya saja, tapi juga terjadi dan dirasakan oleh banyak kaum dhuafa yang tidak berdaya mendapatkan akses layanan kesehatan dan biaya selama pengobatannya di RS. Apa kabar nasib kesehatan mereka?

Perlu adanya inisiatif bersama untuk menyelesaikan masalah ini, kolaborasi filantropi kesehatan sangat diperlukan. Hal ini sebenarnya sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di mana filantropi adalah salah suatu bentuk eksplorasi sumber pendanaan baru dalam pembiayaan pembangunan non-konvensional selain Kerjasama Pemerintah Badan Usaha / Public Private Partnership (KPBU/PPP) dan kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Namun hal ini belum tertuang dalam landasan kebijakan yang spesifik sehingga daya gedor nya tidak begitu terlihat di masyarakat, padahal potensi yang ada dari semua lembaga filantropi terdaftar sangat besar.

Sebagai contoh aplikasi dalam pelayanan kolaborasi pembiayaan adalah untuk pasien ODGJ tadi, muncul inisiatif bersama kolaborasi RS Lancang Kuning Pekanbaru yang memiliki layanan rawat inap jiwa dengan dua lembaga yakni Puskesmas Bungaraya Kabupaten Siak dengan Dompet Dhuafa Riau. Bentuk kolaborasi ini memberikan pembiayaan indirect-cost selama pasien ODGJ dirawat di RS Lancang Kuning, pembiayaan dipastikan aman menggunakan BPJS Kesehatan oleh Puskesmas Bungaraya sesuai wilayah kerjanya, di mana ODGJ ini menjadi salah satu warganya. Pembiayaan transportasi dibiayai oleh dana kemanusiaan (zakat infaq sedekah) dari lembaga amil zakat nasional Dompet Dhuafa Riau. Kolaborasi dengan puskesmas-puskesmas lain se-Riau ini sudah berjalan dalam tiga bulan terakhir hingga mencapai rata-rata rawat inap jiwa ODGJ tidak mampu 25 pasien jiwa per bulannya.

Dalam hal ini puskesmas merasa terbantu dan akhirnya menjadi capaian tersendiri bagi puskesmas tersebut, sehingga sudah tidak ada lagi warga dalam cakupan wilayah kerjanya yang masih dipasung. Hal ini seirama dengan program Indonesia Bebas Pasung yang digalang pemerintah.

Bahkan saat mengantarkan dari rumah, ODGJ ini dilepas oleh bapak camat setempat karena kolaborasi ini menjadi sebuah solusi bagi masyarakat. Keluarga pun tidak perlu cemas lagi dalam pembiayaan berobat dan selama dirawat di rumah sakit sebab sudah dibiayai cross-subsidy dengan menggunakan dana dari LAZ Dompet Dhuafa.

Kolaborasi filantropi ini diharapkan juga terjadi untuk pasien-pasien lain yang memiliki kendala direct-cost dan atau indirect-cost lainnya termasuk di saat pandemi seperti saat ini bersama dengan lembaga-lembaga filantropi lainnya, tercatat ada 117 lembaga pelaku filantropi di Indonesia. Indonesia perlu memanfaatkan fakta sebagai negara paling dermawan di dunia (World Giving Index, 2018) sehingga bisa tercapai tujuan kesehatan komunal yang memiliki ketahan kesehatan yang kuat.

Tentu kita sama-sama yakin bahwa menjaga kehidupan dalam hal ini melalui kesehatan merupakan sebuah kewajiban bagi kita bersama dimanapun kita berada. Kata sehat hadir bukan untuk menggambarkan sehatnya diri, tapi kata sehat hadir untuk menggambarkan kesehatan masyarakat. Kesehatan individu hadir karena kesehatan masyarakat yang baik. Salam sehat.

PENULIS/ PENGIRIM: dr. Pradipta Suarsyaf, MMRS, Direktur RS Lancang Kuning Pekanbaru, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Padjadjaran

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement