Senin 07 Sep 2020 11:33 WIB

Metafisik Manusia

Empat unsur metafisik yang dimiliki manusia yaitu ruh, jiwa, akal, dan kalbu.

Jiwa manusia (ilustrasi)
Foto: pollsb.com
Jiwa manusia (ilustrasi)

Oleh KH Masyhuril Khamis dan H.J. Faisal

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika kita berdiri di hadapan sebuah cermin, maka terpantullah seluruh bentuk fisik kita sebagai manusia di dalam cermin tersebut. Bagaimana bentuk wajah kita, bentuk tubuh kita, warna rambut kita, dan semua kondisi fisik kita lainnya. 

Sekarang, mari kita hadapkan seekor hewan peliharaan kita, seekor kucing misalnya, di depan sebuah cermin juga. Insya Allah akan terlihat juga semua bentuk fisik kucing kita tersebut. 

Begitupun dengan tumbuhan kesayangan kita, bunga anggrek misalnya. Hadapkanlah bunga itu ke hadapan sebuah cermin, maka insya Allah akan terlihat semua bentuk fisik dari tanaman atau tumbuhan kesayangan kita tersebut.

Secara fisik, ketiga mahluk Allah yang bernyawa tersebut, yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan adalah mahluk-mahluk yang sangat sempurna. Tetapi secara metafisik, hanya mahluk Allah yang bernama manusia saja yang merupakan mahluk Allah yang sempurna. Mengapa demikian? Karena kesempurnaan sebuah mahluk hidup dalam Islam, khususnya manusia, tidak hanya dipandang dari segi fisik saja, tetapi juga dari unsur-unsur metafisik atau unsur kejiwaan dan kelebihan aqalnya. 

Ilmu pengetahuan yang datangnya dari Barat, pada umumnya hanya memandang manusia dari unsur fisiknya saja. Begitupun dengan hasil ilmu pengetahuannya. Selama ilmu pengetahuan itu bersifat positif, atau ada pembuktian yang nyata, empiris, dan bisa diterima oleh logika, maka mereka akan merestui itu sebagai sebuah ilmu. Tetapi jika di dalam ilmu pengetahuan itu terdapat nilai-nilai unsur keTuhanan atau unsur-unsur Illahiah, maka logika mereka akan menolaknya sebagai ilmu pengetahuan.

Hal ini memang wajar saja, dikarenakan manusia barat tidak menginginkan adanya campur tangan agama di dalam ilmu pengetahuan mereka, dikarenakan sejarah kelam mereka terhadap inkuisisi gereja yang terjadi di awal abad ke 18 yang lalu.

Sedangkan Islam selalu memandang manusia sebagai mahluk yang sempurna, karena mempunyai unsur fisik dan metafisik. Itulah mengapa ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari para ilmuwan Muslim tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Semua ilmu pasti berasal dari Allah SWT.

Itulah mengapa ilmu bersifat tidak bebas nilai, dikarenakan ada misi-misi tertentu yang dibawa oleh para pencipta ilmu atau para ilmuwan tersebut.

UNSUR-UNSUR METAFISIK MANUSIA

Sekarang, mari kita cermati apa saja unsur-unsur metafisik yang dimiliki oleh mahluk hidup yang sempurna, seperti manusia.

Menurut Imam Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumiddin, ada empat unsur metafisik yang dimiliki  oleh seorang manusia, yaitu Ruh, Jiwa, Akal, dan Qalbu atau Hati. Semuanya mempunyai fungsi, dan tugas masing-masing dalam sebuah kesatuan. Dalam kesempatan ini, penulis akan mencoba untuk mengupasnya satu persatu secara singkat, padat, dan jelas. 

Pertama, Ruh. Menurut Imam Ghazali, ruh memiliki dua makna. Makna pertama adalah, ruh yang sebenarnya. Yaitu asap yang bersumber dari darah hitam yang berada di dalam rongga daging berbentuk pohon cemara. Asap ini menyebar melalui urat-urat ke seluruh bagian tubuh. Perumpamaannya seperti pelita yang menerangi seluruh sudut rumah, tanpa terkecuali.

Makna yang kedua adalah, ruh merupakan rahasia dan hak prerogative Allah yang Allah berikan kepada hambaNya yang Allah kehendaki. Seperti yang Allah firmankan di dalam Surat Al Isra (17), yang artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk rusan Tuhanku….”

Kedua, Jiwa (Nafs). Banyak orang yang menyamakan arti ruh dan jiwa. Sejatinya ini adalah dua hal yang sangat berbeda makna dan fungsinya. Dengan ruh seorang manusia bisa menjadi hidup, dan bergerak. Sedangakan dengan jiwa, seorang manusia akan mempunyai emosi atau dorongan untuk melakukan sesuatu, baik itu yang bersifat baik, maupun dorongan untuk melakukan sesuatu yang bersifat buruk. Dorongan inilah yang disebut dengan nafs atau nafsu.

Nafsu yang buruk, adalah nafsu atau dorongan yang mengarahkan manusia untuk berbuat inkar dan angkara. Nafsu ini biasanya diliputi oleh amarah, syahwat hewaniah, dan sifat-sifat tercela lainnya. Jiwa seperti ini merupakan jiwa-jiwa yang tidak akan menemui ketenangan, meskipun dikelilingi oleh segala kemewahan duniawi. 

Maka Rasulullah SAW telah memperingatkan kita mengenai jiwa atau nafsu yang tercela ini di dalam haditsnya, yaitu: “ Musuhmu yang paling besar adalah jiwamu yang berada di antara kedua rusukmu.” (HR Baihaqi).

Sebaliknya, untuk nafsu yang baik, atau nafsu mutmainah terdapat di dalam jiwa yang tenang, dan bersih. Jauh dari buruksangka kepada Allah dan Rasul-Nya, juga selalu berdzikir kepada Allah SWT. Nafsu atau jiwa yang tenang ini biasanya didapatkan di dalam diri manusia-manusia yang selalu ingin mencari ilmu-ilmu Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah, dan bukan dari sumber-sumber ilmu yang tidak jelas asal-usul dan kebenarannya, sehingga dengan ilmu yang dia miliki, jiwa manusia tersebut menjadi lebih matang dan lurus dalam menjalani kehidupan ini berdasarkan koridor ke-Islaman yang benar.

Ketiga, Akal (‘Aql). Akal adalah anugerah Allah SWT yang sangat besar. Dengan akal inilah, maka manusia dapat dibedakan dengan makhluk Allah lainnya. Akal adalah pola pikir atau daya pikir yang dimiliki oleh seorang manusia untuk membedakan mana hal yang baik, dan mana hal yang buruk. 

Dengan akal yang sehat, seorang manusia dapat berlogika terhadap segala sesuatu. Menurut Ibnu Khaldun, dengan akal yang sehat pula, seorang manusia dapat merenungi semua ayat-ayat Allah, baik ayat kauliyah maupun ayat kauniyah-Nya. Setelah direnungi, kemudian dapat diungkapkan untuk menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Itulah yang dimaksud dengan tidak adanya dikotomi ilmu pengetahuan di dalam Islam. Semua ilmu di dunia ini berasal dari petunjuk Allah SWT, yang memang hanya bisa dikuak kebenarannya oleh manusia-manusia yang berakal cerdas (Ulil Albab). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT di dalam Surah Al Baqoroh (269): “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal yang sehat.”

Rasulullah SAW bersabda, “ (Sesuatu) yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah akal. Allah berkata kepadanya, ‘Majulah.’ Diapun maju,”

Keempat, Hati (Qalb). Menurut imam Ghazali,hati dalam pengertian ini adalah hati yang mengenal Allah dan dapat menangkap sesuatu yang tidak bisa ditangkap melalui khayalan dan imajinasi. Hati merupakan hakikat bagi manusia. Hati yang jernih adalah hati yang rela menerima perintah dan larangan Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Qaf (37), yang artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati…”

Inilah unsur metafisik manusia yang terpenting, dan menjadi raja atas diri manusia. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah haditsnya yang sangat akrab di telinga kita, yaitu: “Sesungguhnya di dalam hati anak Adam itu ada segumpal daging, yang apabila ia baik maka seluruh tubuh akan baik. Segumpal daging itu adalah hati.” (HR Muslim dan Baihaqi).

Pilihan diksi “segumpal daging” yang digunakan oleh Rasulullah SAW lebih bersifat metafora. Itulah kepiawaian beliau berkomunikasi menyampaikan risalah sesuai dengan kemampuan pendengarnya. Inilah yang dimaksud dengan hati ruhani. Sebagaimana hati jasmaninya, hati ruhanipun sangat berpengaruh terhadap kesehatan tubuh, dan kejiwaan seorang manusia. Bahkan kejahatan maupun kebaikan seorang manusia tergantung kepada kebersihan dan kekotoran hati ruhani atau hati nuraninya. 

Secara umum, Rasulullah SAW mengumpamakan kondisi hati ke dalam tiga bagian. Yaitu, hati yang sehat, sakit, dan bahkan hati yang mati. Rasulullah SAWmengumpamakan hati yang sehat layaknya sebuah cangkir yang paling bening, tipis, dan kuat. Bening berarti bersih dari dosa, sehingga hati menjadi bersih dalam menimbang dan menilai sebuah masalah. Tipis berarti, hati memiliki sifat empati, peka, dan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Adapun yang dimaksud hati yang kuat, adalah hati yang tangguh, dan sabar. 

Sedangkan hati yang sakit adalah hati yang sesungguhnya masih hidup, tetapi mengandung penyakit. Hati yang sakit terkadang cenderung kepada ketaatan, tetapi terkadang condong pula kepada kemaksiatan. Maksudnya adalah, di dalam diri seorang manusia yang hatinya sakit, dia akan tetap melakukan ketaaatan kepada Allah SWT, tetapi di dalam praktek ketaatannya tersebut terdapat sifat riya, uzub, iri, dengki, ingin selalu dipuji, merasa paling benar sendiri, tidak mau pendapatnya didebat, senang membid’ahkan ibadah sesama saudara muslimnya sendiri, dan penyakit-penyakit hati lainnya. Banyak tipe manusia seperti ini, tetapi banyak pula yang tidak menyadari akan sakitnya hati mereka. Subhanallah. 

Adapun hati yang mati, adalah hati yang sudah tertutup dari kehidupan, karena isi hati tersebut hanyalah hawa nafsu syaitoniah dan hewaniah, serta syahwat liar yang akhirnya menjerumuskan manusia tersebut menjadi lebih rendah derajatnya dari seekor hewan sekalipun. Allah SWT berfirman di dalam surat Al A’raf (176), yang artinya: “Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia julurkan lidahnya juga. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”

Jika demikian halnya, ada dimanakah kondisi hati kita saat ini. Apakah kita memiliki hati yang sehat, sakit, atau bahkan hati yang mati? Wallahu’alam. Hanya diri kita masing-masing yang mengetahuinya. Mengapa demikian? Karena hati nurani tidak akan pernah berdusta.

Itulah beberapa hal yang dapat kita petik pemahamannya tentang unsur-unsur metafisik yang ada dalam diri seorang manusia. Semoga kita semua memiliki fisik yang sehat dan kuat, juga memiliki metafisik yang sehat dan cerdas. Jika kedua unsur tersebut, baik fisik maupun metafisik yang dimiliki seorang manusia berada di dalam keadaan yang sehat berdasarkan ketqwaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, maka barulah dapat dikatakan sebagai manusia, makhluk Allah yang paling sempurna.

                                                                             Wallahu’alam bissowab.

                                                                          Bogor, 5 September 2020

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement