REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Kebakaran hebat melanda Pasar Anyar, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa 26 Maret 1996. Api yang diduga berasal dari salah satu department store di pasar kedua terbesar di Bogor itu melumatkan puluhan kios. Hingga tiga hari api belum bisa dipadamkan seluruhnya.
Saat itu aku masih jadi calon reporter Harian Berita Yudha yang ngepos di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Mendengar informasi kebakaran, aku segera terjun ke lapangan. Aku mendatangi lokasi kebakaran di pasar yang tak jauh dari Stasiun Bogor itu, mewawancarai pedagang, saksi mata, pihak Pemkot Bogor, dan juga petugas pemadam kebakaran.
Yang paling tragis dari peristiwa itu adalah banyaknya warga yang turut terbakar api. Tubuh mereka yang tewas kebanyakan sudah tidak bisa dikenali. Gosong dilalap si jago merah.
Sebagian tubuh masih utuh, tapi banyak juga yang dalam bentuk potongan-potongan menghitam. Jumlah korban meninggal simpang siur. Semula disebutkan lebih dari 70 orang, tapi kemudian diralat menjadi 10 orang.
Petugas membawa mayat-mayat itu dalam kantong-kantong mayat. Namun lebih banyak lagi dalam plastik-plastik kresek berwarna hitam. Itu berupa potongan-potongan tubuh. Berpuluh-puluh jumlahnya. Mayat dalam kantong dan potongan tubuh dibawa ke Rumah Sakit PMI Bogor untuk diidentifikasi.
Selesai melakukan liputan di lokasi kebakaran, aku bersiap untuk menulis berita. Namun lewat pesan pager redaktur meminta agar meluncur ke RS PMI Bogor. Perintah redaktur: Gambarkan kondisi mayat yang dibawa ke kamar mayat PMI Bogor.
Langsung saja aku meluncur ke RS PMI Bogor yang tak begitu jauh jaraknya dari Pasar Anyar. Di rumah sakit sudah banyak wartawan, fotografer, dan kameramen berkumpul. Semua punya tujuan sama, mendapat cerita tentang kondisi korban yang dibawa ke kamar mayat.
Petugas tak memberikan akses masuk kamar mayat kepada wartawan. Dirayu bagaimanapun jawabannya sama, “Perintah pimpinan, tak ada wartawan yang boleh masuk kamar mayat.”
Wartawan tetap saja gigih berusaha dengan berbagai cara. Tapi petugas kamar mayat bergeming. Baginya perintah atasan lebih penting daripada hak publik untuk mendapatkan informasi.
Lebih satu jam menunggu tanpa hasil. Satu per satu wartawan menyerah. Ada yang kembali ke kantor, melanjutan liputan di Pasar Anyar, atau pergi menulis dan mengirim berita.
Aku satu-satunya wartawan yang masih bertahan. Redaktur minta harus dapat cerita tentang mayat-mayat itu. Karena itu aku tak berani beranjak.
Selama menunggu aku tak melakukan apa-apa. Hanya duduk-dukuk di emperan RS sambil sesekali melongok ke arah kamar mayat, melihat kesempatan kalau-kalau bisa menyelinap masuk. Tak lagi berusaha merayu petugas kamar mayat. Percuma.
Sudah lebih dua jam menunggu belum juga ada kesempatan untuk masuk ke kamar mayat. Petugas, seorang laki-laki bertubuh kurus, berkulit agak gelap, beberapa kali melihat ke arahku. Dia terlihat waspada kalau-kalau aku menyelinap saat dia lengah. Sepertinya dia bisa membaca pikiranku.
Sampai menjelang Magrib aku masih bertahan. Tiba-tiba petugas kamar mayat mendekati. “Kok belum pulang Dik,” tanyanya.
“Aku nggak boleh pulang Pak, kalau nggak dapat cerita tentang kantong-kantong mayat itu,” jawabku pelan. Mimik muka kubuat sememelas mungkin.
Dia memandangiku agak lama. Tak tahu apa yang ada di pikirannya. Mungkin karena kasihan melihat wajahku yang mengiba, akhirnya petugas kamar mayat itu luluh.
“Tapi sebentar saja ya, dan nggak boleh pegang-pegang. Jangan ada yang tahu kalau saya kasih izin,” pesannya.
Gembira hatiku bukan kepalang. Langsung saja masuk ke kamar mayat. Biasanya aku paling tak tahan dengan bau, tapi kali ini jadi seperti mati rasa. Bau anyir mayat gosong seperti tak berpengaruh di hidung. Waktu beberapa menit ku manfaatkan untuk menghitung kantong mayat dan melihat kondisinya.
Aku juga dapat info penting bahwa tak semua kresek yang dibawa ke kamar mayat adalah potongan tubuh. Sebagian adalah sisa pakaian, dan kayu terbakar yang bertentuk potongan badan manusia.
Hari itu aku lalui dengan gembira. Puas rasanya bisa mendapatkan berita itu sendiri. Menembus sumber itu ternyata banyak caranya. Kadang cukup dengan sabar saja. Dan pasang wajah memelas.
Tips melakukan observasi di lapangan
- Sesegera mungkin mendatangi lokasi kejadian
- Amati secara cermat lokasi kejadian
- Gambarkan suasananya
- Jika menyangkut orang, gambarkan ciri fisiknya, misalnya postur tubuh, warna kulit, rambut dan lain-lain
- Catat semua fakta yang ditemukan
- Pastikan kondisi diri aman dari orang yang tak suka ada wartawan di tempat kejadian
- Usahakan mengambil gambar, atau membuat grafis sederhana mengenai kejadian.