Sabtu 26 Sep 2020 21:05 WIB

Fakta Seputar Gempa Megathrust

Gempa megathrust banyak diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia akhir-akhir ini.

Rep: Puti Almas/ Red: Nidia Zuraya
Gempa bumi (ilustrasi)
Foto: www.keyt.com
Gempa bumi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Gempa megathrust menjadi salah satu hal yang banyak diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Namun, tak sedikit yang mungkin belum mengetahui maupun memahami apa arti dari fenomena alam ini.

Badan Metereologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan gempa megathrust dipahami banyak orang sebagai sesuatu yang baru dan berpotensi terjadi dalam waktu dekat. Selain itu, gempa ini berkekuatan sangat besar dan mampu menimbulkan kerusakan, serta tsunami yang dahsyat.

Baca Juga

“Pemahaman seperti ini tentu saja kurang tepat,” ujar Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami, Daryono dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (26/9).

Daryono mengatakan zona megathrust sebenarnya sekadar istilah untuk menyebutkan sumber gempa tumbukan lempeng di kedalaman dangkal. Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua membentuk medan tegangan atau dapat dikatakan sebagai stress pada bidang kontak antar lempeng yang kemudian dapat bergeser secara tiba-tiba memicu gempa.

Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra bergerak terdorong naik (thrusting). Jalur subduksi lempeng umumnya sangat panjang dengan kedalaman dangkal mencakup bidang kontak antar lempeng.

“Dalam perkembangannya, zona subduksi diasumsikan sebagai patahan naik yang besar, yang kini populer disebut sebagai zona megathrust,” jelas Daryono.

Zona megathrust bukanlah hal baru. Di Indonesia, zona sumber gempa ini sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Nusantara.

BMKG menyebutkan bahwa zona megathrust berada di zona subduksi aktif. Seperti yang pertama ada subduksi Sunda mencakup Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba, kemudian kedua subduksi Banda, ketiga subduksi Lempeng Laut Maluku, keempat subduksi Sulawesi, kelima subduksi Lempeng Laut Filipina, dan keenam subduksi Utara Papua.

Menurut Daryono, saat ini segmen zona megathrust Indonesia sudah dapat dikenali potensinya. Seluruh aktivitas gempa yang bersumber di zona megathrust disebut sebagai gempa megathrust dan tidak selalu berkekuatan besar.

Sebagai sumber gempa, zona megathrust dapat membangkitkan gempa berbagai magnitudo dan kedalaman. Data hasil monitoring BMKG menunjukkan, justru gempa kecil yang lebih banyak terjadi di zona megathrust, meskipun zona megathrust dapat memicu gempa besar.

Dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017 disebutkan bahwa di Samudra Hindia selatan Jawa terdapat 3 segmentasi megathrust, yaitu pertama Segmen Jawa Timur, kedua Segmen Jawa Tengah-Jawa Barat, dan ketiga Segmen Banten-Selat Sunda.  Seluruh segmen megathrust ini memiliki magnitudo tertarget M8,7.

Namun demikian, jika skenario model dibuat dengan asumsi 2 segmen megathrust yang bergerak secara simultan maka magnitudo gempa yang dihasilkan bisa lebih besar dari 8,7, Besarnya magnitudo gempa yang disampaikan tersebut adalah potensi skenario terburuk, bukan prediksi yang akan terjadi dalam waktu dekat.

Dengan demikian, untuk kapan terjadinya tidak ada satu pun orang yang tahu.  Karena itu, dalam ketidakpastian kapan terjadinya, Daryono mengatakan semua pihak harus melakukan upaya mitigasi.

Hasil monitoring BMKG menunjukkan bahwa zona megathrust selatan Jawa memang sangat aktif yang tampak dalam peta aktivitas kegempaannya (seismisitas).  Dalam catatan sejarah, sejak 1700 zona megathrust selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi aktivitas gempa besar (major earthquake) dan dahsyat (great earthquake).

Gempa besar dengan magnitudo antara 7,0 dan 7,9 yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi sebanyak 8 kali. Yaitu pada 1903 (M7,9), 1921 (M7,5), 1937 (M7,2), 1981 (M7,0), 1994 (M7,6), 2006 (M7,8) dan 2009 (M7,3)

Sementara, gempa dahsyat dengan magnitudo 8,0 atau lebih besar yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi 3 kali. Pertama pada 1780 (M8,5), 1859 (M8,5), dan 1943 (M8,1). Sedangkan untuk gempa dengan kekuatan 9,0 atau lebih besar di selatan Jawa belum tercatat dalam katalog sejarah gempa.

Lebih lanjut, Daryono menyebutkan bahwa di wilayah selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi tsunami. Bukti adanya peristiwa tsunami selatan Jawa dapat dijumpai dalam katalog tsunami Indonesia BMKG, di mana tsunami pernah terjadi diantaranya pada 1840, 1859, 1921, 1921, 1994, dan 2006.

Selain data tersebut, hasil penelitian paleotsunami juga mengonfirmasi adanya jejak tsunami yang berulang terjadi di selatan Jawa di masa lalu. Seringnya zona selatan Jawa dilanda gempa dan tsunami adalah risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat yang tinggal dan hidup di pertemuan batas lempeng tektonik.

“Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, inilah risiko yang harus dihadapi,” kata Daryono.

Daryono juga mengatakan apakah dengan hidup berdekatan dengan zona megathrust lantas orang-orang harus selalu dicekam rasa cemas dan takut? Menurutnya, hal itu tidak diperlukan.

“Karena dengan mewujudkan upaya mitigasi yang kongkrit maka kita dapat meminimalkan risiko, sehingga kita masih dapat hidup aman dan nyaman di daerah rawan bencana,” jelas Daryono.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement