Jumat 09 Oct 2020 10:30 WIB

Buruknya Respons Imunitas Berpotensi Sebabkan Infeksi Ulang

Peneliti mempertanyakan validitas herd immunity di tengah adanya kasus infeksi ulang.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi penyebaran virus corona. Beberapa orang dilaporkan mengalami infeksi ulang Covid-19.
Foto: MgIT03
Ilustrasi penyebaran virus corona. Beberapa orang dilaporkan mengalami infeksi ulang Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di saat jumlah kasus infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) masih mengalami peningkatan di seluruh dunia, banyak ahli mempertanyakan validitas teori kekebalan kelompok (herd immunity). Para peneliti mempertanyakan apakah mungkin mencegah penyakit ini seiring dengan makin banyaknya orang yang mengembangkan antibodi.

Meski penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemulihan Covid-19 dikaitkan dengan produksi antibodi terhadap virus corona jenis baru (SARS-CoV-2), tidak diketahui secara pasti apakah antibodi ini dapat memberikan kekebalan jangka panjang. Ada juga pertanyaan yang sedang berlangsung tentang infeksi ulang, di mana seseorang kembali positif Covid-19 setelah sembuh.

Baca Juga

Meskipun fenomena tersebut tidak dipahami dengan baik pada tahap ini, infeksi ulang dapat mengarahkan para ilmuwan kepada produksi vaksin yang efektif dan pengobatan yang lebih baik. Sebuah studi kasus yang dilakukan belum lama ini memperlihatkan adanya kelemahan dalam sistem kekebalan.

Dilansir Health 24, dalam studi kasus pra-cetak terbaru yang muncul di database medRxiv, tim dari University of Washington menyelidiki kasus yang menunjukkan respons kekebalan yang tidak berkembang dengan baik dan tingkat antibodi yang berkurang dapat membuat orang lebih rentan terhadap infeksi ulang. Studi kasus mengacu pada orang-orang yang berada di panti jompo, dengan usia rata-rata 60 tahun ke atas yang dites positif SARS-CoV-2 setelah mengalami pneumonia parah.

Setelah lebih dari sebulan dirawat di rumah sakit, pasien dinyatakan negatif. Namun, pada Juli, pasien dinyatakan positif lagi, kali ini dengan gejala yang lebih ringan, termasuk batuk ringan dan sesak napas.

Menurut Jason Goldman, yang memimpin penelitian, ini jelas merupakan kasus dari dua infeksi terpisah, sebagai lawan dari pelepasan virus dari infeksi awal. Ia bersama timnya menemukan bahwa pasien menghasilkan tingkat antibodi yang sangat rendah untuk melawan virus setelah dinyatakan positif lagi.

Mereka menduga infeksi pertama juga hanya menghasilkan antibodi dalam dosis rendah, yang menjelaskan penyebab infeksi ulang. Meskipun pasien menghasilkan antibodi pada pekan pertama infeksi ulang, tidak ada bukti bahwa antibodi tersebut membantu memblokir SARS-CoV-2.

Para peneliti juga melihat apa yang disebut sel B, sel memori yang dimaksudkan untuk mengingat infeksi sebelumnya dalam jangka panjang untuk melawannya. Peneliti juga menemukan bahwa tidak ada klon baru dari sel-sel ini yang muncul setelah beberapa hari setelah reinfeksi.

Menurut para peneliti, hal ini menunjukkan adanya kekurangan dalam mengembangkan respons terhadap infeksi ulang, yang dapat memiliki implikasi penting bagi pengembangan vaksin. Namun, para peneliti optimistis bahwa infeksi pasien lebih ringan untuk kedua kalinya, meskipun ada kasus di mana infeksi ulang lebih parah.

Tingkat imunitas humoral, yakni kekebalan yang dimediasi oleh antibodi, dapat memberikan titik awal yang kuat bagi para ahli untuk menjelaskan patokan yang terbukti tidak efektif melawan infeksi ulang. Tetapi lebih banyak penelitian dari rangkaian kasus yang lebih besar dari pasien yang terinfeksi ulang virus corona jenis baru akan dibutuhkan sebelum tanggapan kekebalan ini sepenuhnya dipahami.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement