REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai sikap toleransi yang diajar para Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia, harus menjadi teladan dalam penerapan nilai-nilai kebangsaan di masa kini dan akan datang.
"Nilai-nilai toleransi yang diterapkan Wali Songo menghadirkan proses penyebaran Islam di Jawa berlangsung damai dan terjadi akulturasi," kata Lestari Moerdijat atau Rerie dalam keterangannya di Jakarta.
Hal itu dikatakannya saat melakukan sosialisasi Empat Konsensus Kebangsaan bertema "Posisi Pesantren dalam Menjaga Ideologi Kebangsaan dan Ekonomi Umat di Masa Pandemi", di Pondok Pesantren Fathul Huda Demak, Jawa Tengah, Jumat.
Sosialisasi yang dilaksanakan secara luring dan daring itu menghadirkan Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Huda, Sayung, Kabupaten Demak, KH. Zainal Arifin Ma'shum, Ketua Umum PP Ikatan Sarjana NU Ali Masykur Musa, dan Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Ulil Abshar Abdalla.
Menurut Rerie, salah satu upaya untuk mempertahankan negara Indonesia adalah dengan memperkuat nilai-nilai kebangsaan, salah satunya toleransi, yang dicontohkan para Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Air.
"Nilai-nilai toleransi dijunjung tinggi dan dijaga oleh para Wali Songo sehingga Islam dapat diterima oleh semua orang," ujarnya.
Dia menilai, saat ini nilai-nilai kebangsaan itu juga terkandung dalam empat konsensus kebangsaan seperti Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945.
Dalam acara tersebut, pengasuh Pondok Pesantren Fathul Huda, Sayung, Kabupaten Demak, KH. Zainal Arifin Ma'shum mengajak masyarakat mengikuti jejak para ulama dan aulia yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi di Tanah Air.
"Tanah Air kita ini karunia yang sangat besar. Karena itu kita harus pertahankan negara ini dengan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan yang diwariskan para pendahulu kita," katanya.
Ketua Umum PP Ikatan Sarjana NU, KH. Ali Masykur Musa menegaskan bahwa para santri harus memiliki pandangan bernegara yang sejalan dengan sikapnya dalam beragama.
Menurut dia, kemandirian ekonomi di kalangan pesantren harus diwujudkan agar para santri bisa mandiri secara ekonomi dan mengambil peran dalam bernegara.
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan bahwa pembentukan negara Indonesia dipengaruhi dua sejarah yaitu sejarah sejumlah agama dan sejarah Nusantara.
Menurut Ulil, sejak masa lalu Indonesia sudah dipengaruhi peradaban multikultural, misalnya kerajaan Sriwijaya di masa jayanya sempat menjadi pusat pengembangan agama Buddha.
"Demikian juga dengan Kerajaan Majapahit (Hindu-Buddha), Kerajaan Islam Samudra Pasai dan sejumlah kerajaan di Nusantara lainnya," ujarnya.
Karena itu Ulil menilai, sejarah bangsa Indonesia jangan hanya dilihat dari tahun 1945 saja, namun harus melihat sejarah bangsa Indonesia sejak abad VII saat Kerajaan Sriwijaya menguasai Asia Tenggara.