REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan tinggi yang juga Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Edy Suandi Hamid menilai kampus harus menyeleksi program studi yang paling butuh perkuliahan tatap muka. Hal ini berkaitan dengan kebijakan diizinkannya perguruan tinggi untuk melakukan perkuliahan campuran tatap muka dan daring mulai Januari 2021.
"Saya kira untuk tatap muka itu bisa dilaksanakan, tapi yang betul-betul dibutuhkan. Misalnya saja dalam konteks praktikum tugas-tugas akhir yang tidak bisa ditunda, atau penelitian-penelitian, atau riset yang tidak mungkin dilakukan secara daring," kata Edy, dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/12).
Menurutnya, saat ini situasi pandemi Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan adanya penurunan. Justru, ia menilai peningkatan jumlah kasus harian setiap harinya semakin meningkat dengan angka-angka yang tinggi.
Melakukan pembelajaran tatap muka saat ini, tentunya akan memiliki risiko penularan yang tinggi. Namun, bukan berarti pembelajaran tatap muka harus dilarang, melainkan harus dilakukan dengan protokol yang sangat ketat.
Selain membuat program studi prioritas kuliah tatap muka, Edy juga berpendapat peraturan nantinya harus betul-betul diawasi oleh pimpinan perguruan tinggi. "Tidak cukup nantinya hanya peraturan yang bebas begitu saja. Pimpinan perguruan tinggi juga harus memantau. Jadi kalau mau menerapkan ini, oke. Maka ya harus ada protokol yang ketat dan pemantauan dari kelas tersebut," kata dia lagi.
Edy menambahkan, pemerintah harus memiliki akses dan kontak dengan layanan kesehatan terdekat. Hal ini penting, jika tiba-tiba di dalam pembelajaran tatap muka terdapat mahasiswa atau dosen yang menunjukkan gejala Covid-19.
Lebih lanjut, Edy menilai pembelajaran hybrid ini akan lebih efektif daripada pembelajaran daring sepenuhnya. Namun, mengingat risiko yang masih tinggi, maka persyaratan-persyaratan yang sudah ditetapkan terkait protokol kesehatan harus dipenuhi.