Selasa 15 Dec 2020 15:51 WIB

Cerita Dokter Bedah Alami Masa Kritis Positif Covid-19

Dokter bedah asal Wonigiri berbagi pengalaman positif Covid-19.

Rep: Andi Hana (swa.co.id)/ Red: Andi Hana (swa.co.id)
.
.

Seorang dokter bedah asal Wonigiri, yaitu dr Sriyanto Sp.B membagikan pengalamannya saat terkonfirmasi positif Covid-19. Terhitung mulai 18-30 November 2020, Sriyanto bersama putranya harus diisolasi di RS Moewardi, Solo.

Pada awalnya, Sriyanto dan sang putra mengalami kondisi demam dan batuk. Kondisi ini diperparah karena ayah mertuanya yang juga dokter bedah sedang berada dalam ruangan ICU RS Karyadi Semarang karena positif COVID-19. 

“Sampai di ruang isolasi, kondisi saya memburuk. Setiap hari saya menggigil kedinginan, bahkan setiap 6 jam sekali harus mengonsumsi obat pamol agar tidak menggigil akut,” ungkap Sriyanto.

Di hari keempat masa isolasi, ia mulai batuk dengan badan yang terasa sakit. Setiap bergerak juga batuk seperti ketika sholat yang banyak gerakan, dari ruku' ke sujud, atau dari sujud ke berdiri, maka otomatis akan batuk.

Di hari keenam isolasi, kondisi semakin parah. Saat itu Sriyanto sudah tidak bisa merasakan indera penciuman bahkan mengunyah dengan baik. Kerongkongannya pun terasa sangat sakit. Penyebabnya karena cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu.

Hari ketujuh masa isolasi, batuk Sriyanto semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes.  Beruntung ia mendapatkan kiriman plasma dari Jakarta.

“Beberapa hari sebelumnya saya memang memesan dua kantong plasma. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati COVID-19, malam itu saya mendapat injeksi 1 kantong plasma,” ujarnya.  

Mengutamakan pengobatan medis daripada pengobatan alternatif, Sriyanto memang meutuskan  minta suntikan tosilizumab yang harganya mencapai Rp8 juta. Hanya selang 6 jam pasca suntikan, ia sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik, Sriyanto kesulitan menelan makanan bahkan hingga protes ke bagian gizi rumah sakit karena mengira makanan tidak enak.

Di hari kedelapan, Sriyanto mendapat injeksi plasma yang kedua kalinya. Seluruh badan terpasang alat EKG, oksigen 5 liter, dan infus 2 jalur.  Seharian itu pun ia tertidur. Begitu bangun, badannya terasa ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun.

Memasuki hari kesembilan, demam sudah menghilang. Suhu tubuh normal meskipun tidak minum obat penurun panas.  Batuk berkurang hingga 75%. “Alhamdulillah saya bersyukur sekali bisa mendapatkan tosilizumab dan plasma.  Dari pengalaman masa isolasi kemarin, terbukti acterma dan plasma sangat cocok mengobati pasien COVID-19, bahkan yang memiliki komorbid diabetes,” jelasnya.

Saat ini kondisi Sriyanto dan putranya sudah membaik dan sedang masa pemulihan.  Sebuah pelajaran berharga baginya dan semua orang di masa pandemi ini yaitu ketika kondisi kritis, tetap percayakan pengobatan kepada medis.

“Obat medis sudah teruji. Sedangkan pengobatan alternatif baru sebatas coba-coba. Kita harus tetap rasional. Jaga kesehatan dan terapkan protokol dimanapun berada. Selalu gunakan masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir serta menjaga jarak aman dengan orang lain,” tuturnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan swa.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab swa.co.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement