REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Yayasan Perguruan Al Iman menggelar Refleksi Pendidikan Akhir Tahun 2020 yang bertujuan untuk menjernihkan pandangan terhadap pendidikan. Acara refleksi kali ini dihadiri pengurus yayasan, pimpinan sekolah, dan guru. Refleksi pendidikan itu diadakan di Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al Iman, Bojonggede, Bogor, Jawa Barat, Jumat (25/12).
Afrizal Sinaro, ketua Yayasan Perguruan Al Iman mengatakan bertolak dari realitas dunia pendidikan saat ini, refleksi pendidikan merupakan ikhtiar untuk menjalankan pendidikan sesuai dengan amanah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (bab 1, pasal 1, ayat 1) yang merupakan janji pendidikan, janji negara kepada peserta didik, janji pendidik kepada peserta didik. “Memasuki tahun 2021, SIT Al Iman harus hijrah dari kelalaian dalam pelaksanaan pendidikan yang diakibatkan oleh kekeliruan sistem pendidikan,” ujar Afrizal dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (30/12).
Zulfikri Anas, penulis buku Sekolah Untuk Kehidupan, mengawali diskusi dengan perenungan terhadap perjalanan pendidikan nasional selama ini. “sebagai pelaksana pendidikan mari bersama-sama menjernihkan pikiran kita terhadap hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Agar pikiran kita benar-benar jernih, kita harus berangkat dari pemahaman tentang hakikat manusia”, ungkap pakar pendidikan tersebut.
Zulfikri mengajak kita semua untuk menguatkan keyakinan bahwa setiap manusia terlahir membawa potensi kemanusiaan, makhluk yang berpikir, berakal, makhluk paling mulia dan diamanahi sebagai khalifah di muka bumi. Selain itu, pejuang dalam menciptakan harmoni kehidupan menuju masyarakat bahagia, sejahtera, aman dan damai.
Menurutnya, segala kekuatan yang akan membawa kepada kemaslahatan hidup manusia dari lahir sampai akhir hayat sudah ada dalam diri setiap peserta didik. “Sebagai pendidik kita harus benar-benar yakin akan keputusan Allah melahirkan seorang anak manusia,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Zulfikri, pelaksanaan pendidikan seharusnya memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada setiap individu untuk mengeksplor, meresonansikan pikiran, rasa, dan raga, serta menggunakan sekaligus mengembangkan kekuatan-kekuatan kemanusiaan yang sudah ada dalam dirinya itu. Sehubungan dengan itu, Zufikri menegaskan, pendidikan akan afektif apabila setiap individu peserta didik menjadi subyek yang aktif mengembangkan potensi dirinya. Bukan dengan cara menjejali mereka dengan semua materi pelajaran, lalu mereka dipaksa untuk mencapai nilai sempurna untuk setiap mata pelajaran.
“Ketika kita bersikukuh mempertahankan pola belajar konvensional (belajar dengan cara yang sama, dari satu sumber yang sama, mengerjakan tugas-tugas yang sama di setiap mata pelajaran, dan seterusnya), menggunakan ujian sebagai senjata untuk memaksa agar mereka mau belajar, berarti kita telah merampas hak-hak pendidikan mereka yang sesungguhnya. Dan yang lebih miris lagi, kita justeru merampas kebahagiaan mereka dalam menikmati masa kanak-kanak. Inilah bentuk nyata kegagalan pendidikan dalam menumbuhkan semangat dan kemauan belajar anak yang sesungguhnya,” paparnya.
Mengutip hasil peneltian psikologi terkini, Zulfikri mengatakan bahwa tujuan pembelajaran sebenarnya adalah menguasai hal baru. Yang menjadi perhatian adalah mencari strategi-strategi untuk belajar. Ketika ada ketidaklancaran, ini tidak berhubungan dengan kecerdasan murid.
‘Ini hanya berarti bahwa strategi-strategi yang tepat belum ditemukan, teruslah mencari. Apabila strategi-strategi itu ditemukan maka jutaan potensi anak akan terkuak karena ada jutaan peluang dan cara untuk menjadikan dirinya sebagai insan kamil,” kata Zulfikri.
Menurutnya, setiap anak memiliki banyak cara untuk menemukan dan menumbuhkan kekuatan dari dalam dirinya. Untuk itu, keberadaan kurikulum adalah untuk menyediakan berbagai pilihan (komptensi, konten dan cara) sehingga setiap anak dapat memilih sendiri cara yang tepat dan sesuai dengan cara belajar, minat, bakat, dan potensi unik mereka.
Seyogyanya, setiap anak itu memiliki “sejuta” kurikulum. Bukan sebaliknya, jutaan anak dipaksa mengikuti satu kurikulum. “Ubahlah pola pikir (mindset) kita bila kita tidak ingin ank mengingkari fitrah dan amanah dari Allah SWT,” tegas Zulfikri.
Menurutnya, wajah pendidikan dewasa ini menunjukkan bahwa pendidikan dipahami secara parsial. “Ketika guru mendapatkan informasi baru melalui pelatihan dan kebijakan pendidikan tentang karakter, literasi, pembelajaran, administrasi, RPP, tematik, dan lain-lain, seolah-olah semua itu menjadi entitas pohon-pohon baru yang tumbuh di sekitar pohon utama pendidikan. Padahal semuanya merupakan bagian-bagian dari struktur pohon pendidikan,” paparnya.
Akibatnya, kata dia, guru disibukkan dengan pohon-pohon baru itu dan melupakan pohon utamanya, yaitu pendidikan. Dampaknya muncul pemikiran keliru dalam implementasi di lapangan yang memicu perdebatan dan membingungkan guru. Kebimbangan guru semakin bertambah ketika terjadi perubahan kebijakan kurikulum yang lazimnya disertai dengan panduan detail yang terkadang tidak mudah dipahami. “Apabila guru memahami hakikat pendidikan tidak akan bingung ketika terjadi perubahan kurikulum karena sesungguhnya dalam perubahan itu ada yang berubah ada yang tidak,” tuturnya.
Nurita, salah satu peserta diskusi mengemukakan bahwa guru dapat menciptakan suasana pembelajaran yang berkesan melalui rancangan pembelajaran berbasis aktivitas. Yaitu suatu kegiatan yang bertujuan menggali pontensi anak sesuai tahap perkembangannya sehingga anak mampu menemukan keunikan diri sendiri.
Misalnya dalam kegiatan story telling, guru memberikan fasilitas berbagai macam bentuk cerita/buku-buku cerita, kemudahan anak menemukan sendiri kejadian/makna yang terkandung di dalamnya hingga anak mampu menceritakan kembali apa isi buku tersebut. “Di sini guru harus melihat kemampuan setiap anak", tuturnya.
Apakah pembelajaran berbasis aktivitas merepotkan guru? Sarwodi mencontohkan guru TK yang setiap hari merancang pembelajaran yang merangsang anak selalu aktif. “Repotnya di awal, tapi seiring dengan pembiasaan akan terlatih dan berjalan alami karena telah memahami langkah-langkahnya,” ujar Sarwodi, guru musik yang akrab disapa Kak Odi.
Di akhir diskusi, Muhaemin selaku penanggung jawab kegiatan langsung berimajinasi, “Seandainya ini berjalan dengan baik, dan setelah kurang lebih 9 bulan anak-anak belajar di rumah karena pandemi, rumah-rumah dan ruang belajar anak sudah dipenuhi karya nyata mereka sebagai hasil belajar mandiri jarak jauh. Ada gambar, puisi, cerita, rangkuman inti pelajaran, laporan observasi, film pendek, reportase, ringkasan dan resensi buku, lukisan, atau analisis berbagai masalah dengan menggunakan data statistik, logika, produk kreatif hasil pola pikir kolaboratif, cerita bagaimana bekerja sama di rumah selama pandemi, cerita tentang ternak ayam atau tanaman sayuran di pekarangan, pengalaman membantu kakak memasarkan kue secara online, cerita tentang indahnya pengalaman hidup toleran, dan seterusnya. Semua aktivitas dan karya mereka merefleksikan kekuatan dan potensinya masing-masing.”
Bila itu terjadi, kata Muhaemin, tentunya anak-anak yang tadinya hanya asyik belajar mengerjakan soal dan PR kini berubah menjadi sosok yang mandiri, kreatif, kritis, tangguh, toleran, peduli, dan produktif, dan mampu dengan jelas melihat arah masa depannya nanti. “Andaikan dunia pendidikan kita mampu untuk ‘move-on’ dari pola pikir konvensional, maka kita tidak pernah meragukan kemampuan anak-anak kita menghadapi tantangan dan mengendalikan dirinya sehingga mereka tidak terjerumus atau tergilas oleh perkembangan zaman,” ujar Muhaemin.